Translate

Kamis, 17 November 2011

Bab 45. Berziarah Kepada Para Ahli Kebaikan, Duduk-duduk Dengan Mereka, Mengawani -Menemani- Mereka, Mencintai Mereka, Meminta Mereka Supaya Berziarah Ke Tempat Kita, Meminta Doa Dari Mereka Serta Berziarah Ke Tempat-tempat Yang Utama
 
 
Allah Ta'ala berfirman: "Dan ketika Musa berkata kepada bujangnya: "Saya tidak akan berhenti berjalan sehingga sampai di pertemuan dua sungai atau aku berjalan sampai bertahun-tahun sehingga firman Allah: "Musa berkata kepadanya -yakni Hidhir-: "Bolehkah aku mengikuti engkau dengan maksud supaya engkau mengajarkan kepadaku kebenaran yang telah diajarkan kepadamu?” [34] (al-Kahfi: 60-66)
 
Keterangan:
Orang yang hendak dicari oleh Nabiyullah Musa a.s. yang dianggapnya lebih pandai daripadanya sendiri itu ialah Hidhir. Sebagian alim-ulama ada yang mengatakan bahwa Hidhir itu adalah seorang Nabi, ada pula yang mengatakan, ia seorang waliyullah yang memiliki karamah (keistimewaan yang tidak dapat dilakukan oleh manusia biasa sebagai tanda kemuliaan yang dikaruniakan oleh Allah padanya, jadi sama halnya dengan mu'jizat bagi seorang Nabi atau Rasul), juga ada yang mengatakan bahwa ia adalah orang shalih saja. Jadi dalam hal ini banyak pendapat alim-ulama Islam. Mana yang benar, hanyalah Allah Ta'ala yang Maha Mengetahui. Juga diperselisihkan pula oleh beliau-beliau itu perihal kematian atau masih hidupnya Hidhir itu sampai saat ini, hingga tibanya hari kiamat nanti sebagaimana diperselisihkannya tentang kematian atau masih hidupnya Nabiyullah Isa al-Masih a.s. Tegasnya ada sebagian ulama yang menyatakan pendapatnya bahwa kedua beliau itu masih hidup dan baru akan mati nanti setelah datangnya hari kiamat, tetapi hidupnya Hidhir a.s. di bumi dan Isa a.s. di langit. Juga ada sebagian ulama yang menyatakan pendapatnya bahwa keduanya itu sudah mati. Wallahu A'lam bishshawaab. Ketika Nabiyullah Musa a.s. hendak mencari Hidhir, Allah memberikan petunjuk kepadanya bahwa tempat Hidhir itu ada di Majma'ul Bahrain yakni tempat pertemuan dua lautan. Inipun diperselisihkan pula, ada yang mengatakan bahwa lautan di situ maksudnya dua sungai. Jadi Majma'ul Bahrain, artinya ialah pertemuan dua sungai yakni Sungai Nil Biru dan Nil Putih. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksudkan memang betul-betul pertemuan dua lautan, yakni lautan Hitam yang dulu masuk wilayah kerajaan Parsi di zaman kejayaannya dan lautan Tengah yang dulu masuk wilayah kerajaan Romawi di zaman keemasannya. Jadi kalau ini yang dianggap benar, maka pertemuan kedua lautan itu ialah di selat Bospores yang kini masuk wilayah Turki. Namun demikian, semua pendapat itu masih merupakan serba kemungkinan dan belum dapat dipastikan keshahihannya. Wallaahu A'lam bishshawaab.
 
Allah Ta'ala berfirman pula: "Dan sabarkanlah dirimu bersama orang-orang yang menyeru Tuhan mereka di waktu pagi dan sore, mereka menginginkan keridhaan Tuhan." (al-Kahfi: 28)
 
359. Dari Anas r.a., berkata: "Abu Bakar berkata kepada Umar radhiallahu 'anhuma setelah wafatnya Rasulullah s.a.w.: "Marilah berangkat bersama kita ke tempat Ummu Aiman [35] agar kita dapat berziarah padanya, sebagaimana Rasulullah s.a.w. juga menziarahinya. Setelah keduanya sampai di tempatnya, Ummu Aiman menangis, lalu keduanya bertanya: "Apakah yang menyebabkan engkau menangis? Tidakkah engkau ketahui bahwa apa yang ada di sisi Allah itu lebih baik untuk Rasulullah s.a.w.?" Ummu Aiman lalu menjawab: "Sesungguhnya saya bukannya menangis karena saya tidak mengerti bahwa apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik untuk Rasulullah s.a.w. itu, tetapi saya menangis ini ialah karena sesungguhnya wahyu itu kini telah terputus dari langit." Jawaban Ummu Aiman menyebabkan tergeraknya hati kedua orang tersebut untuk menangis lalu kedua orang itu pun mulai pula menangis bersama Ummu Aiman." (Riwayat Muslim)
 
360. Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w. bahwasanya ada seorang lelaki berziarah kepada seorang saudaranya di suatu desa lain, kemudian Allah memerintah seorang malaikat untuk melindunginya di sepanjang jalan -yang dilaluinya-. Setelah orang itu melalui jalan itu, berkatalah malaikat kepadanya: "Kemana engkau menghendaki?" Orang itu menjawab: "Saya hendak ke tempat seorang saudaraku di desa ini." Malaikat bertanya lagi: "Adakah suatu kenikmatan yang hendak kau peroleh dari saudaramu itu?" Ia menjawab: "Tidak, hanya saja saya mencintainya karena Allah." Malaikat lalu berkata: "Sesungguhnya saya ini adalah utusan Allah untuk menemuimu -guna memberitahukan- bahwa sesungguhnya Allah itu mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu itu karena Allah." (Riwayat Muslim)
 
361. Dari Abu Hurairah r.a. pula, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang meninjau orang sakit atau berziarah kepada saudaranya karena Allah, maka berserulah seorang yang mengundang-undang: "Engkau melakukan kebaikan dan baik pulalah perjalananmu, serta engkau dapat menduduki tempat dalam syurga." " Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan dan dalam sebagian naskah disebutkan sebagai hadits gharib.
 
362. Dari Abu Musa al-Asy'ari r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya perumpamaan kawan yang baik dan kawan yang buruk adalah sebagai pembawa minyak misik -yang baunya harum- dan peniup perapian -pandai besi. Pembawa minyak misik ada kalanya memberikan minyaknya padamu, atau engkau dapat membelinya, atau -setidak-tidaknya- engkau dapat memperoleh wanginya -bau yang harum daripadanya. Adapun peniup perapianmu, maka ada kalanya akan membakarkan pakaianmu atau engkau akan memperoleh bau yang busuk daripadanya." (Muttafaq 'alaih)
 
363. Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w. sabdanya: "Seorang wanita itu dikawini karena empat perkara, yaitu karena ada hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena teguh agamanya. Maka dari itu dapatkanlah -yakni usahakanlah untuk memperoleh- yang mempunyai keteguhan agama, tentu kedua tanganmu merasa puas -yakni hatimu menjadi tenteram." (Muttafaq 'alaih) Adapun maknanya hadits di atas itu ialah bahwasanya para manusia itu dalam ghalibnya menginginkan wanita itu karena adanya empat perkara di atas itu, tetapi engkau sendiri hendaklah menginginkan lebih-lebih yang beragama teguh. Wanita sedemikian itulah yang harus didapatkan dan berlumbalah untuk mengawininya.
 
364. Dari Ibnu Abbas r.a., katanya: "Nabi s.a.w. bersabda -kepada- Jibril a.s.: "Apakah sebabnya Tuan tidak suka berziarah pada kami yang lebih banyak lagi -lebih sering- daripada yang Tuan berziarah sekarang ini?" Kemudian turunlah ayat -yang artinya-: Dan kami tidak turun melainkan dengan perintah Tuhanmu. BagiNya adalah apa yang ada di hadapan serta di belakang kita [36] dan apa saja yang ada diantara yang tersebut itu." (Maryam: 64) (Riwayat Imam Bukhari)
 
365. Dari Abu Said al-Khudri r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Janganlah engkau bersahabat, melainkan -dengan- orang yang mu'min dan janganlah makan makananmu itu kecuali orang yang bertaqwa." Diriwayatkan oleh Imam-imam Abu Dawud dan Tirmidzi dengan isnad yang tidak mengapa untuk dijadikan pegangan.
 
366. Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda: "Seorang itu adalah menurut agama kekasihnya -teman atau sahabatnya-. Maka hendaklah seorang dari engkau semua itu melihat -meneliti benar-benar- orang yang dijadikan kekasihnya itu." Diriwayatkan oleh Imam-imam Abu Dawud dan Tirmidzi dengan isnad shahih dan Imam Tirmidzi mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan.
 
367. Dari Abu Musa al-Asy'ari r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda:  "Seseorang itu beserta orang yang dicintainya." (Muttafaq 'alaih) Dalam suatu riwayat lain disebutkan: Abu Musa r.a. berkata: "Nabi s.a.w. ditanya: "Ada seorang mencintai sesuatu kaum, tetapi ia tidak pernah menemui mereka itu, bagaimanakah?" Beliau s.a.w. lalu bersabda: "Seseorang itu beserta orang yang dicintainya."
 
368. Dari Anas r.a. bahwasanya ada seorang A'rab -orang Arab pedalaman- berkata kepada Rasulullah s.a.w.: "Kapankah datangnya hari kiamat?" Rasulullah s.a.w. bersabda kepadanya: "Apakah yang telah engkau persiapkan untuk menemuinya?" A'rab itu menjawab: "Kecintaanku kepada Allah dan RasulNya." Kemudian beliau s.a.w. bersabda: "Engkau akan menyertai orang yang engkau cintai." (Muttafaq 'alaih) Ini adalah lafaz Imam Muslim. Dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim lainnya, disebutkan demikian: A'rab berkata: "Saya tidak menyiapkan sesuatupun untuk menemui hari kiamat itu, baik yang berupa banyaknya puasa, shalat atau sedekah, tetapi saya ini adalah mencintai Allah dan RasulNya."
 
369. Dari Ibnu Mas'ud r.a. katanya: "Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah s.a.w. lalu berkata: "Ya Rasulullah, bagaimanakah pendapat Tuan mengenai seorang yang mencintai sesuatu kaum, tetapi tidak pernah menemui kaum itu?" [37] Rasulullah s.a.w. bersabda: "Seorang itu beserta orang yang dicintainya." (Muttafaq 'alaih)
 
370. Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w. sabdanya: "Para manusia ini adalah bagaikan benda logam, sebagaimana juga logam emas dan perak. Orang-orang pilihan diantara mereka di zaman Jahiliyah adalah orang-orang pilihan pula di zaman Islam, jikalau mereka menjadi pandai -dalam hal agama. Ruh-ruh itu adalah sekumpulan tentara yang berlain-lainan, maka mana yang dikenal dari golongan ruh-ruh tadi tentulah dapat menjadi rukun damai, sedang mana yang tidak dikenalinya dari golongan ruh-ruh itu tentulah berselisihan -maksudnya ruh baik berkumpulnya ialah dengan ruh baik, sedang yang buruk dengan yang buruk." (Riwayat Muslim) Imam Bukhari meriwayatkan sabda Nabi s.a.w. Al-Arwah dan seterusnya itu dari riwayat Aisyah radhiallahu 'anha.
 
Keterangan:
Dalam menafsiri pengertian perihal ruh itu ada yang saling kenal mengenal yakni 'Ta'aruf dan ada yang tidak saling kenal-mengenal yakni Tanakur, maka Imam Ibnu Abdissalam berkata sebagai berikut: "Hal itu yakni kenal atau tidak kenal, maksudnya adalah mengenai keadaan sifat. Artinya andaikata Anda mengetahui seorang yang berlainan sifatnya dengan Anda, misalnya Anda seorang yang berbakti kepada Allah dan yang dikenal itu orang yang tidak berbakti atau mengaku ketiadaan Allah, sekalipun kenal orangnya, tetapi tidak saling kenal mengenal jiwa, ruh ataupun faham yang dianutnya. Sebaliknya jika orang itu sama dengan Anda perihal keadaan sifatnya, sama-sama berbaktinya kepada Allah, sama-sama berjuang untuk meluhurkan kalimat Allah, sama-sama membenci kepada kemungkaran dan kemaksiatan, maka selain kenal orangnya, juga sesuai jiwanya, sesuai ruhnya dan sejalan dalam faham yang dianutnya. Oleh sebab itu dalam sebuah hadits lain disebutkan bahwa seorang yang merasa jiwanya itu masih lari atau enggan mengikuti ajakan orang yang mulia dan utama amalannya, pula bagus kelakuannya, hendaknya segera mencari sebab-sebabnya, sekalipun ia sudah mengaku sebagai manusia muslim. Selanjutnya setelah penyakitnya ditemukan, hendaknya secepatnya diubati dan dibuang apa yang menyebabkan ia sakit sedemikian. Cara inilah yang sebaik-baiknya untuk menyelamatkan diri dari sifat yang buruk, sehingga ruhnya dan jiwanya dapat saling berkenalan dengan golongan orang-orang yang baik pula ruh dan jiwanya."
 
371. Dari Usair bin Amr, ada yang mengatakan bahwa ia adalah bin Jabir -dengan dhammahnya hamzah dan fathahnya sin muhmalah-, katanya: "Umar bin Alkhaththab ketika didatangi oleh sepasukan pembantu -dalam peperangan- dari golongan penduduk Yaman, lalu ia bertanya kepada mereka: "Adakah diantaramu semua seorang yang bernama Uwais bin 'Amir?" Akhirnya sampailah Uwais itu ada di mukanya, lalu Umar bertanya: "Adakah anda bernama Uwais." Uwais menjawab: "Ya." Ia bertanya lagi: "Benarkah dari keturunan kabilah Murad dari lingkungan suku Qaran?" Ia menjawab: "Ya." Ia bertanya pula: "Adakah Anda mempunyai penyakit supak, kemudian Anda sembuh daripadanya, kecuali hanya di suatu tempat sebesar uang dirham?" Ia menjawab: "Ya." Ia bertanya lagi: "Adakah Anda mempunyai seorang ibu?" Ia menjawab: "Ya." Umar lalu berkata: "Saya pernah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Akan datang padamu semua seorang bernama Uwais bin 'Amir beserta sepasukan mujahidin dari ahli Yaman, ia dari keturunan Murad dari Qaran. Ia mempunyai penyakit supak lalu sembuh dari penyakitnya itu kecuali di suatu tempat sebesar uang dirham. Ia juga mempunyai seorang ibu yang ia amat berbakti padanya. Andaikata orang itu bersumpah akan sesuatu atas nama Allah, pasti Allah akan melaksanakan sumpahnya itu -dengan sebab amat berbaktinya terhadap ibunya itu-. Maka jikalau engkau kuasa meminta padanya agar ia memintakan pengampunan -kepada Allah- untukmu, maka lakukanlah itu!" Oleh sebab itu, mohonkanlah pengampunan kepada Allah -untukku. Uwais lalu memohonkan pengampunan untuk Umar. Selanjutnya Umar bertanya lagi: "Kemanakah Anda hendak pergi?" Ia menjawab: "Ke Kufah." Umar berkata: "Sukakah Anda, sekiranya saya menulis -sepucuk surat- kepada gubernur Kufah -agar Anda dapat sambutan dan pertolongan yang diperlukan." Ia menjawab: "Saya lebih senang menjadi golongan manusia yang fakir miskin." Setelah tiba tahun mukanya -tahun depannya-, ada seorang dari golongan bangsawan Kufah berhaji, lalu kebetulan ia menemui Umar, kemudian Umar menanyakan padanya perihal Uwais. Orang itu menjawab: Sewaktu saya tinggalkan, ia dalam keadaan buruk rumahnya lagi sedikit barangnya -maksudnya sangat menderita." Umar lalu berkata: "Saya pernah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Akan datang padamu semua seorang bernama Uwais bin 'Amir beserta sepasukan mujahidin dari ahli Yaman, ia dari keturunan Murad dari Qaran. Ia mempunyai penyakit supak lalu sembuh dari penyakitnya itu kecuali di suatu tempat sebesar uang dirham. Ia juga mempunyai seorang ibu yang ia amat berbakti padanya. Andaikata orang itu bersumpah akan sesuatu atas nama Allah, pasti Allah akan melaksanakan sumpahnya itu. Maka jikalau engkau kuasa meminta padanya agar ia memintakan pengampunan -kepada Allah- untukmu, maka lakukan itu!" Orang bangsawan itu lalu mendatangi Uwais dan berkata: "Mohonkanlah pengampunan -kepada Allah- untukku. Uwais berkata: "Anda masih baru saja waktunya melakukan berpergian yang baik -yakni ibadah haji-, maka sepatutnya memohonkanlah pengampunan untukku." Uwais lalu melanjutkan katanya: "Adakah Anda bertemu dengan Umar?" Ia menjawab: "Ya". Uwais lalu memohonkan pengampunan untuknya. Orang-orang banyak lalu mengerti siapa sebenarnya Uwais itu, mereka mendatanginya, kemudian Uwais berangkat -keluar dari Kufah- menurut kehendaknya sendiri." (Riwayat Muslim) Dalam riwayat Imam Muslim lainnya disebutkan: "Dari Usair bin Jabir bahwasanya ahli Kufah sama bertemu kepada Umar r.a. dan diantara mereka ada seorang lelaki yang menghina-hinakan Uwais. Umar lalu bertanya: "Apakah di situ ada seorang dari keturunan Qaran?" Orang yang dimaksudkan itu lalu datang padanya. Umar kemudian berkata: "Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah bersabda: "Sesungguhnya ada seorang lelaki dari Yaman, akan datang padamu semua. Ia bernama Uwais. Dia tidak meninggalkan sesuatu di Yaman itu melainkan seorang ibu. Ia mempunyai penyakit supak, lalu berdoa kepada Allah Ta'ala, lalu Allah melenyapkan penyakitnya tadi, kecuali di suatu tempat sebesar uang dinar atau dirham. Maka barangsiapa diantara engkau semua bertemu dengannya, hendaklah meminta padanya agar ia memohonkan pengampunan -kepada Allah- untuknya." Juga disebutkan dalam riwayat Imam Muslim lagi dari Umar, katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya sebaik-baiknya kaum tabi'in ialah seorang lelaki bernama Uwais. Ia mempunyai seorang ibu dan pada tubuhnya ada putih-putih -karena penyakit supak-, maka suruhlah ia supaya memohonkan pengampunan untukmu semua." Sabda Nabi s.a.w. Ghabraan-un nas, dengan fathahnya ghain mu'jamah, saknahnya ba' serta mad (dibaca panjang ra'nya). Artinya golongan manusia yang fakir miskin dan rakyat jelata atau rendahan dan tidak diketahui pula dari lingkungan mana sebenarnya orang itu, sedang Al-Amdad adalah jamaknya Madad, yaitu para penolong dan pembantu yang memberikan pertolongan serta bantuan kepada kaum Muslimin dalam berjihad atau perjuangan menegakkan agama Allah.
 
372. Dari Umar bin Alkhaththab r.a., katanya: "Saya meminta izin kepada Nabi s.a.w. untuk menunaikan umrah, lalu beliau mengizinkan dan bersabda: "Jangan melupakan kita, hai saudaraku, untuk mendoakan kita." Beliau s.a.w. telah mengucapkan suatu kalimat -meminta ikut disertakan dalam doa- yang saya tidak senang memperoleh seisi dunia ini sebagai gantinya" -maksudnya bahwa kalimat yang disabdakan oleh beliau s.a.w. diatas bagi Umar r.a. amat besar nilainya yakni melebihi dari nilai dunia dan seisinya. Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam-imam Abu Dawud dan Tirmidzi mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan shahih.
 
373. Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma, katanya: "Nabi s.a.w. berziarah ke Quba'[38] sambil berkendaraan serta berjalan, kemudian beliau bershalat dua rakaat." (Muttafaq 'alaih) Dalam riwayat lain disebutkan: "Nabi s.a.w. mendatangi masjid Quba' setiap hari Sabtu sambil berkendaraan dan berjalan dan Ibnu Umar juga melakukan seperti itu."
Catatan Kaki:
 
[34] Firman Allah Ta'ala dalam surah al-Kahfi di atas adalah ayat 60, sedang yang di bawahnya adalah ayat 65.
Adapun ayat-ayat yang terletak diantara keduanya itu ialah ayat-ayat 61, 62, 63, 64 dan 65. Kelengkapannya adalah sebagai berikut:
Sesudah keduanya (yakni Musa dan bujangnya) telah sampai di pertemuan kedua lautan itu, mereka lupa kepada ikannya (yang dibawa sebagai bekal), lalu ikan itu melompat mengambil jalannya sendiri di lautan (61)
Setelah keduanya berjalan lebih jauh, ia (Musa) berkata pada bujangnya: "Ambillah makanan kita, sungguh kita telah merasa lelah sebab (jauhnya) perjalanan kita ini (62)
Bujangnya menjawab; "Tidakkah Tuan ketahui bahwa ketika kita mencari tempat perlindungan (peristirahatan) di batu besar tadi, saya benar-benar lupa kepada ikan itu dan tiada lain yang menyebabkan saya, terlupa itu selain syaitan jua. Ikan itu lalu mengambil jalannya di lautan. Ini amat mengherankan sekali untuk mengingatnya (63)
Ia (Musa) berkata: "Itulah tempat yang kita cari," kemudian keduanya kembali mengikuti jejaknya semula (64)
Lalu keduanya mendapati seorang dari hamba-hamba Kami (Tuhan) yang telah Kami berikan kurnia kepadanya yaitu kerahmatan dari sisi Kami dan Kami ajarkan kepadanya ilmu pengetahuan dari berbagai ilmu yang ada pada Kami (65)
[35] Ummu Aiman adalah perawat serta pengasuh Rasulullah s.a.w. di waktu kecilnya. Ia adalah seorang hamba sahaya, lalu dimerdekakan oleh beliau s.a.w. setelah beliau s.a.w. dewasa. Suaminya bernama Zaid bin Haritsah. Amat besar penghormatan Nabi s.a.w. terhadap Ummu Aiman itu serta sangat dimuliakan, bahkan beliau s.a.w. pernah bersabda: "Ummu Aiman ummi" artinya: "Ummu Aiman itu adalah ibuku.
 
[36] Maksudnya ialah bahwa bagi Allah itu adalah semua yang ada di muka dan di belakang kita serta apa pun yang ada diantara keduanya itu, baik mengenai waktu dan tempat. Oleh sebab itu kita semua ini tidak dapat berpindah dari satu keadaan atau tempat kepada keadaan atau tempat yang lain, kecuali dengan perintah dan kehendak Allah sendiri.
 
[37] Dalam riwayat Imam Ibnu Hibban ada tambahannya sesudah kata-kata "Walam yalhaq bihim", sedang tambahannya itu berbunyi: Artinya: "Dan orang itu tidak dapat mengamalkan sebagaimana yang diamalkan oleh kaum yang dicintainya itu."
 
[38] Quba' adalah sebuah desa yang jaraknya dari Madinah ada sefarsakh atau kira-kira 5 km. Di situ ada masjidnya yang terkenal, yakni masjid yang didirikan oleh Nabi s.a.w. yang pertama kali, sedang yang kedua ialah masjid Nabawi di Madinah.

Selasa, 01 November 2011

Bab 44. Memuliakan Alim Ulama, Orang-orang Tua, Ahli Keutamaan Dan Mendahulukan Mereka Atas Lain-lainnya, Meninggikan Kedudukan Mereka Serta Menampakkan Martabat Mereka
 
 
Allah Ta'ala berfirman: "Katakanlah -hai Muhammad-, adakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya yang mengingat ialah orang-orang yang menggunakan fikirannya." (az-Zumar: 9)
 
347. Dari Abu Mas'ud yaitu 'Uqbah bin 'Amr al-Badri al-Anshari r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Yang berhak menjadi imamnya sesuatu kaum -waktu shalat- ialah yang terbaik bacaannya terhadap kitabullah -al-Quran-. Jikalau semua jamaah disitu sama baiknya dalam membaca kitabullah, maka yang terpandai dalam as-Sunnah -Hadis-. Jikalau semua sama pandainya dalam as-Sunnah, maka yang terdahulu hijrahnya. Jikalau dalam hijrahnya sama dahulunya, maka yang tertua usianya. Janganlah seorang itu menjadi imamnya seorang yang lain dalam daerah kekuasaan orang lain itu dan jangan pula seorang itu duduk dalam rumah orang lain itu di atas bantalnya -orang lain tadi-, kecuali dengan izinnya -yang memiliki bantal tsb-." (Riwayat Muslim) Dalam riwayat lain disebutkan oleh Imam Muslim: "Maka yang terdahulu masuknya Islam" sebagai ganti "yang tertua usianya." Dalam riwayat lain lagi disebutkan: "Yang berhak menjadi imamnya sesuatu kaum -waktu shalat ialah yang terbaik bacaannya terhadap kitabullah -al-Quran-, dan orang yang terdahulu pandai membacanya. Jikalau dalam pembacaan itu sama -dahulu dan pandainya-, maka hendaklah yang menjadi imam itu seorang yang terdahulu hijrahnya. Jikalau dalam hijrahnya sama dahulunya, maka hendaknya menjadi imam seorang yang tertua usianya." Yang dimaksudkan bisulthanihi yaitu tempat kekuasaannya atau tempat yang ditentukan untuknya. Takrimatihi dengan fathahnya ta' dan kasrahnya ra' ialah sesuatu yang dikhususkan untuk diri sendiri, baik berupa bantal, hamparan, kasur ataupun lain-lainnya.
 
348. Dari Abu Mas'ud r.a. pula, katanya: "Rasulullah s.a.w. mengusap bahu-bahu kita dalam shalat dan bersabda: "Ratakanlah -saf-saf dalam shalat- dan jangan bersilih-silih lebih maju atau lebih ke belakang, sebab jikalau tidak rata, maka hatimu semua pun menjadi berselisih. Hendaklah menyampingi saya -dalam shalat itu- orang-orang yang sudah baligh dan orang-orang yang berakal diantara engkau semua. Kemudian di sebelahnya lagi ialah orang-orang yang bertaraf di bawah mereka ini lalu orang yang bertaraf di bawah mereka ini pula." (Riwayat Muslim) Sabda beliau s.a.w.: Liyalini diucapkan dengan takhfifnya nun -tidak disyaddahkan serta tidak menggunakan ya' sebelum nun ini, tetapi ada yang meriwayatkan dengan syaddahnya nun dan ada ya' sesudah nun itu, lalu dibaca liyalianni -. Annuha yakni akal. Ululahlami ialah orang-orang yang sudah baligh, ada pula yang mengertikan: ahli hilm -kesabaran- dan fadhal -keutamaan.
 
349. Dari Abdullah bin Mas'ud r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Hendaklah menyampingi saya -dalam shalat- itu orang-orang yang sudah baligh dan berakal, kemudian orang-orang yang bertaraf di bawah itu." Ini disabdakannya sampai tiga kali. Beliau s.a.w. lalu melanjutkan: "Jauhilah olehmu semua akan berkeras-keras suara seperti -didalam- pasar. (Riwayat Muslim)
 
350. Dari Abu Yahya, ada yang mengatakan, namanya: Abu Muhammad, yaitu Sahal bin Abu Hatsmah -dengan fathahnya ha' muhmalah dan sukunnya tsa' mutsallatsah- al-Anshari r.a., katanya: "Abdullah bin Sahal dan Muhayyishah bin Mas'ud berangkat ke Khaibar dan pada saat itu antara penduduk Khaibar -dengan Nabi s.a.w.- ada persetujuan perdamaian. Kemudian kedua orang itu berpisah. Setelah itu Muhayyishah mendatangi tempat Abdullah bin Sahal, tetapi yang didatangi ini sudah dalam keadaan berlumuran darah dan telah terbunuh. Muhayyishah lalu menanamnya, terus berangkat kembali ke Madinah. Setelah itu Abdur Rahman bin Sahal, Muhayyishah dan Huwayyishah, yakni putera-putera Mas'ud, berangkat ke tempat Nabi s.a.w., lalu Abdur Rahman mulai berbicara, kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: "Yang tua saja yang berbicara, yang tua saja yang berbicara," sebab Abdur Rahman adalah yang termuda antara orang-orang yang menghadap itu. Abdur Rahman lalu berdiam diri dan kedua orang itulah yang berbicara. Sesudah itu Nabi s.a.w. lalu bersabda: "Adakah engkau semua -berani- bersumpah dan dapat menghaki -berhak atas- orang yang membunuhnya itu?" Seterusnya Abu Yahya yang merawikan hadits ini -menyebutkan kelengkapan hadits di atas. (Muttafaq 'alaih)
 
351. Dari Jabir r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. mengumpulkan antara dua orang lelaki dari golongan orang-orang yang terbunuh dalam peperangan Badar -yakni dikumpulkan dalam sebuah kubur, kemudian beliau bertanya- kepada sahabat-sahabatnya: "Manakah diantara kedua orang ini yang lebih banyak hafalnya pada al-Quran?" Ketika beliau s.a.w. diberi isyarat antara salah satunya, maka yang dikatakan lebih banyak hafalannya al-Quran itulah yang lebih didahulukan untuk dimasukkan dalam liang lahad." (Riwayat Bukhari)
 
352. Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda: "Saya pernah melihat diri saya sendiri dalam impian di waktu saya sedang bersugi -bersikat gigi- dengan menggunakan sebatang kayu siwak. Kemudian datanglah padaku dua orang lelaki, yang satu lebih tua daripada yang lainnya. Lalu siwak itu hendak saya berikan kepada orang yang lebih muda, tiba-tiba ada seorang yang berkata padaku: "Berikanlah kepada yang tua." Oleh sebab itu, maka saya berikanlah kepada yang tertua diantara kedua orang tadi." Diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagai musnad dan oleh Imam Bukhari sebagai ta'liq.
 
353. Dari Abu Musa r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Setengah daripada cara mengagungkan Allah Ta'ala ialah dengan jalan memuliakan orang Islam yang sudah beruban serta orang yang hafal al-Quran yang tidak melampaui batas ketentuan -dalam membacanya- dan tidak pula meninggalkan membacanya. Demikian pula memuliakan seorang sultan -penguasa pemerintahan yang adil-." Hadits hasan yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud.
 
354. Dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari neneknya r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidak termasuk golongan kita -umat Islam- orang yang tidak belas kasihan kepada golongan kecil diantara kita -baik usia atau kedudukannya- serta tidak termasuk golongan kita pula orang yang tidak mengerti kemuliaan -cara memuliakan- yang tua diantara kita." hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam-imam Abu Dawud dan Tirmidzi. Imam Tirmidzi mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan shahih. Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan: "hak orang yang tua dari kita."
 
355. Dari Maimun bin Abu Syabib bahwasanya Aisyah radhiallahu 'anha dilalui oleh seorang peminta-minta lalu olehnya diberi sepotong roti, juga dilalui oleh seorang lelaki yang mengenakan pakaian baik serta berkeadaan baik, lalu orang itu didudukkan kemudian ia makan. Kepada Aisyah ditanyakan, mengapa berbuat demikian -yakni tidak dipersamakan cara memberinya. Lalu ia berkata: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Letakkanlah masing-masing manusia itu di tempatnya sendiri-sendiri." Diriwayatkan oleh Abu Dawud, tetapi kata Imam Abu Dawud: "Maimun itu tidak pernah menemui Aisyah." hadits ini disebutkan oleh Imam Muslim dalam permulaan kitab shahihnya sebagai ta'liq, lalu katanya: "Dan disebutkan dari Aisyah, katanya: "Rasulullah s.a.w. memerintahkan kepada kita supaya kita menempatkan para manusia itu di tempatnya sendiri-sendiri -yakni yang sesuai dengan kedudukannya." Imam Hakim Abu Abdillah menyebutkan ini dalam kitabnya Ma'rifatu 'ulumil hadits dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits shahih.
 
356. Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, katanya: 'Uyainah bin Hishn datang -di Madinah- lalu bertemu di rumah anak saudaranya -sepupunya- yaitu Hur bin Qais. Hur ini adalah diantara golongan orang-orang yang dekat hubungannya dengan Umar r.a. dan memang para ahli membaca al-Quran itu menjadi sahabat dalam majlisnya Umar dan yang diajaknya bermusyawarah, baik pun mereka itu golongan orang-orang yang sudah tua ataupun yang masih pemuda. 'Uyainah berkata kepada sepupunya: "Hai anak saudaraku, engkau ini mempunyai wajah -yakni dikenal amat baik- di sisi Amirul mu'minin ini -maksudnya Umar, maka dari itu mintakanlah izin untukku supaya aku dapat bertemu dengannya. Hur memintakan izin lalu Umar mengizinkannya. Setelah 'Uyainah masuk lalu ia berkata: "Ingat hai anaknya Alkhaththab, demi Allah, engkau ini tidak dapat memberikan banyak keenakan pada kita dan engkau tidak memerintah kepada kita dengan cara yang adil." Umar r.a. marah padanya sehingga hampir saja bermaksud akan memberikan hukuman pada 'Uyainah itu. Tetapi Hur kemudian berkata pada Umar: "Hai Amirul mu'minin, sesungguhnya Allah Ta'ala telah berfirman kepada Nabinya s.a.w. -yang artinya: "Berilah pengampunan, perintahkan dengan kebajikan dan janganlah menghiraukan kepada orang-orang yang bodoh." (al-A'raf: 199) dan sesungguhnya orang ini -yakni 'Uyainah- adalah termasuk golongan orang-orang yang bodoh." Demi Allah, maka Umar tidak suka melanggar ayat tersebut ketika dibacakan padanya dan Umar adalah orang yang paling dapat menahan dirinya -yakni paling mentaati- kepada isi kitabullah Ta'ala itu." (Riwayat Bukhari)
 
357. Dari Abu Said yaitu Samurah bin jundub r.a., katanya: "Sesungguhnya saya dahulu itu sebagai seorang anak-anak di zaman Rasulullah s.a.w., maka saya menghafal -berbagai ajaran- dari beliau. Juga beliau tidak pernah melarang saya berbicara, melainkan jikalau di situ ada orang yang lebih tua usianya daripadaku sendiri." (Muttafaq 'alaih)
 
358. Dari Anas r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidaklah seorang pemuda itu memuliakan seorang tua karena usianya, melainkan Allah akan mengira-ngirakan untuknya orang yang akan memuliakannya nanti, jikalau ia telah berusia tua -maksudnya setelah tuanya pasti akan dimuliakan anak-anak yang lebih muda daripadanya-." Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits gharib.

Kamis, 05 Mei 2011

Bab 43. Memuliakan Ahli Baitnya Rasulullah s.a.w. Dan Menerangkan Keutamaan Mereka

Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya Allah menghendaki akan menghilangkan kotoran daripadamu semua, hai ahlul bait -yakni keluarga Rasulullah- dan membersihkan engkau semua dengan sebersih-bersihnya." (al- Ahzab: 33)



Allah Ta'ala berfirman lagi: "Dan barangsiapa yang memuliakan tanda-tanda suci -agama Allah-, maka sesungguhnya yang sedemikian itu adalah menunjukkan ketaqwaan hati." (al-Haj:32)



Keterangan:

Ahli bait Rasulullah s.a.w., yang di dalamnya termasuk pula zurriyah atau keturunannya dan yang dalam hukum Agama Islam sama sekali tidak boleh diberi sedekah dan merekapun haram pula menerimanya apabila diberi, di negeri kita pada umumnya diberi nama "Sayyid" bagi yang lelaki dan "Sayyidah" bagi yang wanita. Golongan sayyid atau sayyidah itu adalah dari keturunan Sayidina Hasan r.a. Adapun jika dari keturunan Sayidina Husain r.a., maka diberi nama "Syarif" bagi yang lelaki dan "Syarifah" bagi yang perempuan. Makna sebenarnya, sayyid adalah pemuka dari kata Saada Yasuudu, artinya mengepalai atau mengetuai, sedang Syarif artinya adalah orang yang mulia dari kata Syarufe Yasyrufu, maknanya mulia. Dalam hadits yang tertera di bavvah ini tercantum suatu anjuran kepada kita semua, agar kita memuliakan kepada golongan mereka, tetapi ini tidak bererti bahwa kita tidak perlu memuliakan kepada golongan selain mereka itu. Perihal penghormatan terhadap siapa pun juga manusianya, tetap wajib. Jadi dalam hal penghormatan sama sekali tidak ada diskriminasi atau perbedaan, baik mengenai caranya, menemui atau berhadapan dengannya dan lain-lain lagi. Jadi jikalau diantara golongan mereka ada yang meminta supaya dimuliakan lebih dari golongan selain mereka, maka hal itu tidak dapat dibenarkan, sebab manusia yang termulia di sisi Allah hanyalah yang terlebih ketaqwaannya kepada Allah Ta'ala itu belaka. Sebagian golongan ada yang menggunakan ayat di bawah ini sebagai nash atau dalil bahwa Nabi Muhammad s.a.w. menyuruh umatnya agar keturunan beliau s.a.w. lebih dimuliakan, lebih dihormati dan dialu-alukan daripada golongan lainnya. Ayat yang digunakan pedoman itu ialah yang berbunyi: "Katakanlah -wahai Muhammad-! Untuk ajakan itu, aku tidak meminta upah atau bayaran kepadamu semua, melainkan kekasih sayangan terhadap keluarga". (asy-Syura:23) Oleh sementara golongan, keluarga yang wajib dikasih sayangi ialah keluarga Rasulullah s.a.w., dengan makna bahwa mereka yang diberi nama Sayyid, Sayyidah, Syarif atau Syarifah itu wajib lebih dimuliakan dan dihormati melebihi yang lain. Jadi makna Alqurbaa dikhususkan kepada keturunan Sayidina Hasan dan Sayidina Husain radhiallahu 'anhuma yang keduanya itu putera Sayidina Ali r.a. dan istrinya bernama Sayidatina Fathima radhiallahu 'anha yakni puteri Rasulullah s.a.w. Tetapi beberapa ahli tafsir menjelaskan bahwa makna dari lafaz Alqurbaa itu bukan dikhususkan untuk golongan keturunan Sayidina Hasan serta Sayidina Husain r.a. itu saja. Baiklah kita meneliti sejenak apa yang dijelaskan dalam Ash-Shawi, sebuah hasyiyah dari Tafsir Jalalain dan hasyiyah atau kupasan tersebut ditulis oleh Imam Ahmad ash-Shawi al-Maliki. Di antara kupasannya mengenai lafaz Alqurbaa beliau berkata:



"Para ahli tafsir sama berselisih pendapat dalam memberikan makna ayat ini," yang dimaksudkan ialah "kasih sayang pada keluarga, sehingga jumlah pendapat itu menjadi tiga macam. Selanjutnya secara ringkasnya beliau menyatakan:

1.

Kekeluargaan.
2.

Kerabat atau rasa kefamilian antara seluruh kaum muslimin.
3.

Mentaqarrubkan atau mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan amal perbuatan yang baik dan diridhai olehNya.

Jadi kalau yang digunakan menurut bagian (a) yakni yang pertama, maka benarlah bahwa zurriyah Nabi s.a.w. itulah yang dimaksudkan, sebagaimana juga tertera dalam hadits di bawah ini, yaitu no.345. Namun demikian, kalau ada yang mengatakan bahwa golongan mereka itu adalah manusia suci dari dosa, ataupun sudah pasti masuk syurga, atau pada akhir hayatnya pasti memperoleh husnul khatimah atau lain-lain yang bukan-bukan, maka sama sekali tidak dapat diterima, sebab, memang tidak ada keterangan dalam al-Quran atau hadits yang terjamin kebenarannya, sebab suci atau terjaga dari dosa (ma'shum minadz-dzunub) hanyalah para Nabi 'alaihimush shalatu wassalam, sedangkan masuk syurga ataupun memperoleh husnul khatimah adalah semata-mata di dalam ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sesudah kita meninjau salah satu kitab tafsir yang ditulis oleh angkatan tua, kini marilah kita meneliti apa yang ditulis oleh salah seorang ahli tafsir dari angkatan sekarang atau dalam abad kita ini, yaitu seorang Sayyid juga yang bernama Sayid Quthb dalam kitabnya yang bernama Fi-Zhilalil Quran yang artinya "Di bawah naungan al-Quran." Keringkasan dari uraian beliau itu adalah sebagai berikut: "Dalam menyampaikan agama Allah yakni Agama Islam kepada umatnya yang dimulainya dengan golongan kaum Quraisy, Nabi s.a.w. mendapat banyak tantangan dan permusuhan, beliau s.a.w. disakiti dan lain-lain. Padahal yang melakukan penganiayaan sedemikian itu adalah kaumnya sendiri, kaum Quraisy yang terdiri dari berbagai bathn atau perkampungan, padahal dalam setiap bathn dari golongan kaum Quraisy itu beliau pasti mempunyai ikatan kekeluargaan. Jadi yang diharapkan oleh beliau s.a.w. hendaklah mempunyai rasa kasih sayang sebab toh juga masih ada ikatan kekeluargaan yakni Alqurbaa. Sayid Quthb tidak memberikan ulasan selain yang diringkaskan di atas itu. Wallahu A'lam bish-shawaab.



345. Dari Yazid bin Hayan, katanya: "Saya berangkat bersama Hushain bin Sabrah dan Umar bin Muslim ke tempat Zaid bin Arqam r.a. Ketika kita sudah duduk-duduk di dekatnya, lalu Hushain berkata padanya: "Hai Zaid, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak sekali. Engkau dapat kesempatan melihat Rasulullah s.a.w., mendengarkan Hadisnya, berperang besertanya dan juga bershalat di belakangnya. Sungguh-sungguh engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak sekali. Cobalah beritahukan kepada kita apa yang pernah engkau dengar dari Rasulullah s.a.w. Zaid lalu berkata: "Hai anak saudaraku, demi Allah, sungguh usiaku ini telah tua dan janji kematianku hampi tiba, juga saya sudah lupa akan sebagian apa yang telah pernah saya ingat dari Rasulullah s.a.w. Maka dari itu, apa yang saya beritahukan kepadamu semua, maka terimalah itu, sedang apa yang tidak saya beritahukan, hendaklah engkau semua jangan memaksa-maksakan padaku untuk saya terangkan." Selanjutnya ia berkata: "Rasulullah s.a.w. pernah berdiri berkhutbah di suatu tempat berair yang disebut Khum, terletak antara Makkah dan Madinah. Beliau s.a.w. lalu bertahmid kepada Allah serta memujiNya, lalu menasihati dan memberikan peringatan, kemudian bersabda: "Amma Ba'du, ingatlah wahai sekalian manusia, sesungguhnya saya ini adalah seorang manusia, hampir sekali saya didatangi oleh utusan Tuhanku -yakni malaikatul maut-, kemudian saya harus mengabulkan kehendakNya -yakni diwafatkan. Saya meninggalkan untukmu semua dua benda berat -agung- yaitu pertama Kitabullah yang di dalamnya ada petunjuk dan cahaya. Maka ambillah amalkanlah -dengan berpedoman kepada Kitabullah itu dan peganglah ia erat-erat." Jadi Rasulullah s.a.w. memerintahkan untuk berpegang teguh serta mencintai benar-benar kepada kitabullah itu. Selanjutnya beliau s.a.w. bersabda: "Dan juga ahli baitku. Saya memperingatkan kepadamu semua untuk bertaqwa kepada Allah dalam memuliakan ahli baitku, sekali lagi saya memperingatkan kepadamu semua untuk bertaqwa kepada Allah dalam memuliakan ahli baitku." Hushain lalu berkata kepada Zaid: "Siapakah ahli baitnya itu, hai Zaid. Bukankah istri-istrinya itu termasuk dari golongan ahli baitnya?" Zaid menjawab: "Ahli baitnya Rasulullah s.a.w. ialah Ahli keluarga keturunan -Ali, Alu Aqil, Alu Ja'far dan Alu Abbas-." Hushain mengatakan: "Semua orang dari golongan mereka ini diharamkan menerima sedekah." Zaid berkata: "Ya, benar." (Riwayat Muslim) Dalam riwayat lain disebutkan: "Ingatlah dan sesungguhnya saya meninggalkan kepadamu semua dua benda berat -agung-, pertama ialah Kitabullah. Itu adalah tali agama Allah. Barangsiapa yang mengikutinya ia dapat memperoleh petunjuk, sedang barangsiapa yang meninggalkan -mengabaikan- padanya, ia akan berada dalam kesesatan." Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma dari Abu Bakar as-Shiddiq r.a. dalam sebuah hadits mauquf 'alaih, bahwasanya dia berkata: "Intailah Muhammad s.a.w. dalam ahli baitnya." (Riwayat Bukhari) Maknanya Urqubuhu ialah jagalah dan hormati serta memuliakanlah ia, dengan menghormati serta memuliakan ahli baitnya Rasulullah s.a.w. itu. Wallahu a'lam.

Sumber:


*

Terjemah Riyadhush Shalihin - Jilid 1 - Pustaka Amani, Jakarta
*

Terjemah Riyadhush Shalihin - Jilid 2 - Pustaka Amani, Jakarta

Bab 42. Keutamaan Berbakti Kepada Kawan-kawannya Ayah, Kawan-kawannya Ibu, Kerabat, Kawan-kawannya Istri Dan Orang Lainnya Yang Sunnah Dimuliakan

341. Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya suatu kebaktian yang terbesar kebaktiannya ialah jikalau seorang itu menghubungi -yakni mempererat hubungan- kepada sahabat ayahnya." Dari Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhuma bahwasanya ada seorang lelaki dari golongan A'rab -golongan Arab yang berdiam di pedalaman- bertemu dengannya di suatu jalanan Makkah, lalu Abdullah bin Umar mengucapkan salam padanya dan dibawanya menaiki keledai yang dinaikinya sendiri, juga orang itu diberi sorban yang melilit di kepalanya. Ibnu Dinar berkata: "Kita berkata kepadanya: "Semoga Allah memberikan kebaikan padamu, sesungguhnya itu adalah orang A'rab dan orang-orang A'rab itu rela dengan apa-apa yang remeh." Lalu Abdullah bin Umar menjawab: "Sesungguhnya ayahnya orang ini adalah kecintaan Umar bin Al khaththab -ayahnya sendiri- r.a., sedangkan saya pernah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya kebaktian yang terbesar kebaktiannya ialah jikalau seorang itu menghubungi -mempereratkan hubungan- kepada sahabat ayahnya." Dalam riwayat lain dari Ibnu Dinar dari Ibnu Umar radhiallahu anhum, bahwasanya ia keluar ke Makkah. Ia mempunyai seekor keledai dan mengasuhkan diri sambil naik di atasnya, jikalau ia sudah bosan naik unta. Ia juga mempunyai sorban yang diikatkan pada kepalanya. Pada suatu hari ketika ia menaiki keledainya, tiba-tiba berlalulah di mukanya itu seorang A'rab, kemudian ia bertanya: "Bukankah Anda itu si Fulan anak si Fulan itu?" Ia menjawab: "Benar." Orang itu lalu diberi olehnya keledai dan berkata: "Naikilah ini." Juga diberi selembar sorban dan berkata: "Ikatlah kepalamu dengan sorban ini." Sebagian sahabat Abdullah bin Umar lalu berkata: "Semoga Allah mengampuni untukmu. Engkau telah memberikan kepada orang A'rab ini seekor keledai yang engkau gunakan untuk mengistirahatkan diri, juga engkau beri selembar sorban yang engkau ikatkan di kepalamu," Abdullah lalu menjawab: "Sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya tergolong sebesar-besar kebaktian ialah jikalau seorang itu menghubungi -mempereratkan hubungan- kepada kekasih ayahnya, setelah ayahnya itu meninggal dunia." Sesungguhnya ayahnya orang A'rab itu adalah sahabat dari Umar r.a. -yakni ayahnya Abdullah-. Yang meriwayatkan semua Hadits-hadits di atas itu adalah Imam Muslim.



342. Dari Abu Usaid -dengan dhammahnya hamzah dan fathahnya sin- yaitu Malik bin Rabi'ah as-Sa'idi r.a., katanya: "Pada suatu ketika kita semua duduk-duduk di sisi Rasulullah s.a.w., tiba-tiba datanglah kepadanya seorang lelaki dari Bani Salamah. Orang itu bertanya: "Ya Rasulullah, apakah masih ada sesuatu amalan yang dapat saya amalkan sebagai kebaktian saya kepada dua orang tuaku setelah keduanya meninggal dunia?" Beliau s.a.w. menjawab: "Ya, masih ada. Yaitu mendoakan keselamatan untuk keduanya, memohonkan pengampunan kepadanya, melaksanakan janji kedua orang itu setelah wafatnya, mempereratkan hubungan kekeluargaan yang tidak dapat dihubungi kecuali dengan adanya kedua orang tua itu serta memuliakan sahabatnya." (Riwayat Abu Dawud)



343. Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: "Saya tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari semua istri-istri Nabi s.a.w. sebagaimana cemburu saya kepada Khadijah, padahal saya tidak pernah melihatnya sama sekali, tetapi Nabi s.a.w. memperbanyak menyebutkannya -yakni sering-sering disebut-sebutkan kebaikannya-. Kadang-kadang Nabi s.a.w. menyembelih kambing kemudian memotong-motongnya seanggota demi seanggota, kemudian dikirimkanlah kepada kawan-kawan Khadijah itu. Kadang-kadang saya juga berkata kepada Nabi s.a.w. itu: "Seolah-olah tidak ada wanita lain di dunia ini melainkan Khadijah." Beliau s.a.w. lalu menjawab: "Sesungguhnya keadaannya adalah sebagaimana yang ada itu dan memang dari dialah saya mendapatkan anak." (Muttafaq 'alaih) Dalam riwayat lain disebutkan: "Beliau s.a.w. jika menyembelih kambing, lalu tentu menghadiahkan kepada sahabat-sahabat Khadijah dengan sebagian dari kambing itu, seberapa yang cukup untuk diberikan." Dalam riwayat lain lagi disebutkan: "Rasulullah s.a.w. jikalau menyembelih kambing, lalu bersabda: "Kirimkanlah yang ini kepada kawan-kawan Khadijah." Lagi dalam sebuah riwayat disebutkan: "Halah binti Khuwailid yaitu saudarinya Khadijah meminta izin untuk menemui Rasulullah s.a.w., kemudian beliau mengingat Khadijah ketika saudarinya itu meminta izin menemuinya -sebab suaranya serupa benar dengan suara Khadijah dan ini mengingatkan benar-benar pada beliau s.a.w. pada zaman yang lampau semasih bergaul sebagai suami istri-. Kemudian beliau s.a.w. memperhatikan -bergembira- sekali untuk menemuinya itu dan bersabda: "Ya Allah, ini adalah Halah binti Khuwailid." Ucapannya: Fartaha dengan menggunakan ha' dan dalam Aljam'u bainas shahihain oleh Humaidi disebutkan: Farta'a dengan menggunakan 'ain, artinya ialah memperhatikan padanya. Kalau fartaha artinya menjadi gembira.



344. Dari Anas bin Malik r.a., katanya: "Saya keluar bersama Jarir bin Abdullah Albajili r.a. dalam suatu berpergian. Jarir -yang usianya lebih tua dari Anas r.a.- selalu melayani saya, lalu saya berkata padanya: "Jangan berbuat demikian itu -yakni melayani saya-." Kemudian ia berkata: "Sesungguhnya saya telah melihat kaum Anshar melakukan sesuatu untuk Rasulullah s.a.w., maka saya bersumpah tidak akan mengawani seorang pun dari kaum Anshar itu, melainkan saya akan melayaninya." [33] (Muttafaq 'alaih)

Catatan Kaki:



[33] Maksudnya untuk memuliakan Nabi s.a.w.



Sumber:

*

Terjemah Riyadhush Shalihin - Jilid 1 - Pustaka Amani, Jakarta
*

Terjemah Riyadhush Shalihin - Jilid 2 - Pustaka Amani, Jakarta

Bab 41. Keharamannya Berani -Durhaka- Kepada Orangtua Dan Memutuskan Ikatan Kekeluargaan

Allah Ta'ala berfirman: "Apakah barangkali andaikata engkau semua berkuasa, maka engkau semua akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan ikatan kekeluargaanmu semua. Orang-orang yang sedemikian itu adalah orang-orang yang dilaknat oleh Allah, lalu Allah memekakkan pendengaran mereka dan membutakan penglihatan mereka." (Muhammad: 22-23)



Allah Ta'ala juga berfirman: "Dan orang-orang yang merusak janji Allah sesudah teguhnya dan pula memutuskan apa-apa yang diperintah oleh Allah untuk dihubungkannya serta membuat kerusakan di bumi, maka mereka itulah yang mendapatkan kelaknatan dan akan memperoleh tempat kediaman yang buruk." (ar-Ra'ad: 25)



Allah Ta'ala berfirman pula: "Dan Tuhanmu telah menentukan supaya engkau semua jangan menyembah melainkan Dia dan supaya engkau semua berbuat baik kepada kedua orang tua. Dan kalau salah seorang diantara keduanya ada di sisimu sampai usia tua, maka janganlah engkau berkata kepada keduanya dengan ucapan "cis" -yakni ucapan merendahkan-, dan jangan pula engkau menggertak keduanya, tetapi ucapkanlah kepada keduanya itu ucapan yang mulia -penuh kehormatan-.



"Dan turunkanlah sayap kerendahan -rendahkanlah dirimu- terhadap kedua orangtuamu itu dengan kasih sayang dan katakanlah: "Ya Tuhanku, kasihanilah kedua orangtuaku itu sebagaimana keduanya mengasihi aku di kala aku masih kecil." (al-Isra': 23-24)



336. Dari Abu Bakrah yaitu Nufai' bin al-Harits r.a'., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidakkah engkau semua suka saya beritahukan perihal sebesar-besarnya dosa besar?" Beliau menyabdakan ini sampai tiga kali. Kita -para sahabat- menjawab: "Baiklah, ya Rasulullah." Beliau s.a.w. bersabda: "Menyekutukan kepada Allah dan berani kepada kedua orangtua." Semula beliau s.a.w. bersandar lalu duduk kemudian bersabda lagi: "Ingatlah, juga mengucapkan kedustaan serta bersaksi secara palsu -maksudnya sebagai saksi palsu dan berkata dusta saat menjadi saksi-." Beliau s.a.w. senantiasa mengulang-ulanginya kata-kata yang akhir ini, sehingga kita mengucapkan: "Alangkah baiknya, jikalau beliau diam berhenti mengucapkannya." (Muttafaq 'alaih)



337. Dari Abdullah bin Amr bin al-'Ash radhiallahu 'anhuma dari Nabi s.a.w, bersabda: "Dosa-dosa besar itu ialah menyekutukan kepada Allah, berani kepada kedua orangtua, membunuh seseorang -tidak sesuai dengan haknya- serta bersumpah secara palsu." (Riwayat Bukhari) Alyaminul ghamus ialah sesuatu yang disumpahkan oleh seorang dengan dusta dan disengaja, dinamakan ghamus, sebab sumpah sedemikian itu menerjunkan orang yang bersumpah itu ke dalam dosa.



338. Dari Abdullah bin Amr bin al-'Ash r.a. pula bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Termasuk dalam golongan dosa-dosa besar ialah jikalau seorang itu memaki-maki kedua orang tuanya sendiri." Para sahabat bertanya: "Ya Rasulullah, adakah seseorang itu -yang- memaki-maki kedua orang tuanya sendiri." Beliau s.a.w. menjawab: "Ya, yaitu apabila seseorang itu memaki-maki ayah seseorang, lalu orang yang dimaki-maki ayahnya itu lalu -membalas- memaki-maki ayahnya sendiri -yang memaki tersebut-. Atau seseorang itu memaki-maki ibu orang lain, lalu orang yang dimaki-maki ibunya ini -membalas- memaki-maki ibunya sendiri -yang memaki tersebut-." (Muttafaq 'alaih) Dalam riwayat lain disebutkan: "Sesungguhnya termasuk sebesar-besarnya dosa besar ialah apabila seorang itu melaknat kepada kedua orang tuanya sendiri." Beliau s.a.w. ditanya: "Ya Rasulullah, bagaimanakah seorang itu melaknat kedua orang tuanya sendiri?" Beliau s.a.w. bersabda: "Yaitu orang tadi memaki-maki ayah orang lain, lalu orang ini -membalas- memaki-maki ayahnya sendiri -yang memaki tersebut- atau orang itu memaki-maki ibu orang lain, lalu orang ini -membalas- memaki-maki ibunya sendiri -yang memaki tersebut-."



339. Dari Abu Muhammad, yaitu Jubair bin Muth'im r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidak akan masuk syurga seorang yang memutuskan." Sufyan berkata dalam riwayatnya bahwa yang dimaksudkan ialah memutuskan ikatan kekeluargaan. (Muttafaq 'alaih)



340. Dari Abu Isa, yaitu al-Mughirah bin Syu'bah r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Sesungguhnya Allah mengharamkan kepadamu semua akan berani kepada para ibu, juga mencegah -tidak melaksanakan- apa-apa yang wajib atas dirinya, meminta yang bukan miliknya serta menanam anak-anak perempuan hidup-hidup. Allah membenci kepada kata-kata qil wa qal -yakni-: katanya dari si Anu, ujarnya dari si Anu, tetapi tidak ada kepastiannya, juga memperbanyak pertanyaan serta menyia-nyiakan harta dibelanjakan kepada sesuatu yang bukan semestinya." (Muttafaq 'alaih) Sabda Nabi s.a.w. man'an ialah mencegah atau tidak menunaikan apa-apa yang diwajibkan atau yang sudah menjadi kewajiban dirinya. Hati artinya meminta yang bukan milik atau haknya, Wa'dul banal, yaitu menanam anak-anak perempuan dengan hidup-hidup. Qil wa qal maknanya ialah segala sesuatu yang didengarnya -sekalipun belum pasti kebenarannya-. Orang yang suka qil wa qal itu suka mengatakan: "Dikatakan oleh si Fulan itu begini, atau si Fulan itu berkata demikian, semua kata-kata itu tidak dapat diketahui kebenarannya atau bahkan tidak disangka bahwa kata-kata itu benar. Cukuplah seseorang itu disebut berdusta, jikalau ia mempercakapkan segala apa yang didengarnya. Idha'atul mal, yaitu ditabzirkan, diobralkan atau dibelanjakan untuk jurusan-jurusan yang tidak diizinkan oleh syariat, yaitu baik yang berhubungan dengan tujuan-tujuan keakhiratan atau keduniaan, atau tidak suka menyimpannya, padahal mungkin sekali untuk disimpan -yakin ia kuasa menyimpan-. Katsratus sual, yakni banyak bertanya atau meminta sesuatu yang ia sendiri tidak memerlukan itu. Dalam bab ini masih banyak lagi Hadits-hadits yang sudah disebutkan dalam bab sebelumnya seperti Hadis -yang artinya-: "Dan Aku memutuskan orang yang memutuskan engkau -kekeluargaan-, juga hadits -yang artinya-: "Barangsiapa yang memutuskan aku -kekeluargaan-, maka Allah memutuskan ia -lihat Hadits-hadits no.315 dan 323-.

Sumber:

*

Terjemah Riyadhush Shalihin - Jilid 1 - Pustaka Amani, Jakarta
*

Terjemah Riyadhush Shalihin - Jilid 2 - Pustaka Amani, Jakarta

Bab 40. Berbakti Kepada Kedua Orangtua Dan Mempererat Keluarga

Allah Ta'ala berfirman: "Dan sembahlah Allah serta jangan menyekutukan sesuatu denganNya. Juga berbuat baiklah kepada kedua orangtua, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang menjadi kerabat, tetangga yang bukan kerabat, teman seperjalanan, orang yang dalam perjalanan dan hamba sahaya yang menjadi milik tangan kananmu." (an-Nisa': 36)



Allah Ta'ala berfirman pula: "Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan namaNya engkau semua saling menuntut hak dan peliharalah kekeluargaan." (an-Nisa': 1)



"Orang-orang yang berakal ialah mereka yang memperhubungkan apa yang diperintahkan untuk diperhubungkan oleh Tuhan -yakni silaturahmi." (ar-Ra'ad: 21)



Allah Ta'ala berfirman lagi: "Dan Kami -Allah- berwasiat kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orangtuanya." (al-Ankabut: 8)



Allah Ta'ala berfirman pula: "Dan Tuhanmu telah menentukan supaya engkau semua jangan menyembah melainkan Dia dan supaya engkau semua berbuat baik kepada kedua orangtua. Dan kalau salah seorang diantara keduanya atau keduanya ada di sisimu sampai usia tua, maka janganlah engkau berkata kepada keduanya dengan ucapan "cis", dan jangan pula engkau menggertak keduanya, tetapi ucapkanlah kepada keduanya itu ucapan yang mulia -penuh kehormatan-. Dan turunkanlah sayap kerendahan -maksudnya rendahkanlah dirimu- terhadap kedua orangtuamu itu dengan kasih sayang dan katakanlah: "Ya Tuhanku, kasihanilah kedua orang tuaku itu sebagaimana keduanya mengasihi aku dikala aku masih kecil." (al-Isra': 23-24)



Juga Allah Ta'ala berfirman: "Dan Kami -Allah- berwasiat kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan menderita kelemahan diatas kelemahan -yakni terus menerus- dan menyapihnya dalam dua tahun. Hendaknya engkau bersyukur kepadaKu dan kepada kedua orangtuamu." (Luqman: 14)



312.Dari Abu Abdirrahman yaitu Abdullah bin Mas'ud r.a., katanya: Saya bertanya kepada Nabi s.a.w.: "Manakah amalan yang lebih tercinta disisi Allah?" Beliau menjawab: "Yaitu shalat tepat waktunya." Saya bertanya pula: "Kemudian apakah?" Beliau menjawab: "Berbakti kepada orang tua." Saya bertanya pula: "Kemudian apakah?" Beliau menjawab: "Yaitu berjihad fisabilillah." (Muttafaq 'alaih)



313.Dari Abu Hurairah r.a. katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidak cukuplah seorang anak terhadap orangtuanya -sebagaimana imbangan jasa-, kecuali apabila anak itu menemui orangtuanya sebagai hamba sahaya, lalu membelinya kemudian memerdekakannya." (Riwayat Muslim)



314. Dari Abu Hurairah r.a. pula bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah memuliakan tamunya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah menghubungi -mempereratkan- kekeluargaannya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau -jikalau tidak dapat- berdiam sajalah." (Muttafaq 'alaih)



315. Dari Abu Hurairah r.a. pula, katanya: "Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta'ala menciptakan seluruh makhluk, kemudian setelah selesai dari semuanya itu lalu rahim -kekeluargaan- itu berdiri lalu berkata: "Ini adalah tempat orang yang bermohon kepadaMu -Tuhan- daripada perpisahan." Allah berfirman: "Ya, apakah engkau rela jikalau Aku perhubungkan orang yang menghubungimu -kekeluargaan- dan Aku memutuskan orang yang memutuskanmu?" Rahim menjawab: "Ya." Allah berfirman lagi: "Jadi keadaan yang sedemikian itu tetap untukmu -yang menghubungi atau yang memutuskan." Selanjutnya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Bacalah jikalau engkau semua menghendaki -firman Allah yang artinya-: "Apakah seandainya engkau semua berkuasa, engkau semua akan membuat kerusakan di bumi dan memutuskan ikatan kekeluargaan? Orang-orang yang sedemikian itulah yang dilaknat oleh Allah, kemudian ditulikan pendengarannya oleh Allah serta dibutakan penglihatannya." Surah Muhammad: 22-23. (Muttafaq 'alaih) Dalam riwayat Imam Bukhari disebutkan demikian: "Kemudian Allah Ta'ala berfirman: "Barangsiapa yang menghubungimu -kekeluargaan- maka Aku menghubungkannya dan barangsiapa memutuskan kamu, maka Aku juga memutuskannya."



316. Dari Abu Hurairah r.a. lagi, katanya: "Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah s.a.w. lalu berkata: "Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk saya persahabati dengan sebaik-baiknya -yakni siapakah yang lebih utama untuk dihubungi secara sebaik-baiknya?" Beliau menjawab: "Ibumu." Ia bertanya lagi: "Lalu siapakah?" Beliau menjawab: "Ibumu." Orang itu sekali lagi bertanya: "Kemudian siapakah?" Beliau menjawab lagi: "Ibumu." Orang tadi bertanya pula: "Kemudian siapa lagi." Beliau menjawab: "Ayahmu." (Muttafaq 'alaih) Dalam riwayat lain disebutkan: "Ya Rasulullah. Siapakah orang yang lebih berhak untuk dipersahabati -dihubungi- secara sebaik-baiknya?" Beliau menjawab: "Ibumu, lalu ibumu, lalu ibumu, lalu ayahmu, lalu orang yang terdekat denganmu, yang terdekat sekali denganmu." Ashshahabah artinya persahabatannya. Sabdanya tsumma abaka, demikian ini dimanshubkan dengan fi'il yang dibuang, jelasnya birra abaka yakni berbaktilah kepada ayahmu. Dalam riwayat lain disebutkan tsumma abuka dan ini jelas artinya.



317. Dari Abu Hurairah r.a. pula dari Nabi s.a.w. sabdanya: "Melekat pada tanahlah hidungnya, melekat pada tanahlah hidungnya, sekali lagi melekat pada tanahlah hidungnya -maksudnya memperoleh kehinaan besarlah- orang yang sempat menemui kedua orangtuanya di kala usia tua, baik salah satu atau keduanya, tetapi orang tadi tidak dapat masuk syurga -sebab tidak berbakti kepada orangtuanya." (Riwayat Muslim)



318. Dari Abu Hurairah r.a. pula bahwasanya ada seorang lelaki berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya saya itu mempunyai beberapa orang kerabat, mereka saya hubungi -yakni saya pereratkan ikatan kekeluargaannya-, tetapi mereka memutuskannya, saya berbuat baik kepada mereka itu, tetapi mereka berbuat buruk pada saya, saya bersikap sabar kepada mereka itu, tetapi mereka menganggap bodoh mengenai sikap saya itu." Kemudian beliau s.a.w. bersabda: "Jikalau benar sebagaimana yang engkau katakan itu, maka seolah-olah mereka itu engkau beri makanan abu panas -yakni mereka mendapat dosa yang besar sekali. Dan engkau senantiasa disertai penolong dari Allah dalam menghadapi mereka itu selama engkau benar dalam keadaan yang sedemikian itu." (Riwayat Muslim) Tusiffuhum dengan dhammahnya ta' dan kasrahnya sin muhmalah serta syaddahnya fa'. Almallu dengan fathahnya mim dan syaddahnya lam yaitu abu panas. Jadi maksudnya seolah-olah engkau memberi makanan abu panas kepada mereka itu. Ini adalah kata perumpamaan bahwa kaum kerabat yang bersikap seperti di atas itu tentu mendapatkan dosa sebagaimana seorang yang makan abu panas mendapatkan sakit karena makan itu. Terhadap orang yang berbuat baik ini tidak ada dosanya sama sekali, tetapi orang-orang yang tidak membalas dengan sikap baik itulah yang mendapatkan dosa besar karena mereka melalaikan hak saudaranya dan memberikan kesakitan -hati dan perasaan- padanya. Wallahu a'lam.



319. Dari Anas r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang ingin supaya diluaskan rezekinya dan diakhirkan ajalnya, maka hendaklah mempereratkan ikatan kekeluargaannya." (Muttafaq 'alaih) Makna Yunsa alahu fi atsarihi yaitu diakhirkan ajalnya yakni diperpanjangkan usianya.



320. Dari Anas r.a. pula, katanya: "Abu Thalhah adalah seorang dari golongan kaum Anshar di Madinah yang banyak hartanya, terdiri dari kebun kurma. Di antara harta-hartanya itu yang paling dicintai olehnya ialah kebun kurma Bairuha'. Kebun ini letaknya menghadap masjid Nabawi di Madinah. Rasulullah s.a.w. suka memasukinya dan minum dari airnya yang nyaman. Ketika ayat ini turun, yang artinya: "Engkau semua tidak akan memperoleh kebajikan sehingga engkau semua suka menafkahkan dari sesuatu yang engkau semua cintai," maka Abu Thalhah berdiri menuju ke tempat Rasulullah s.a.w., lalu berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman: (Ali-Imran: 92) -artinya sebagaimana di atas-. Padahal hartaku yang paling saya cintai ialah kebun kurma Bairuha', maka sesungguhnya kebunku itu saya sedekahkan untuk kepentingan agama Allah Ta'ala. Saya mengharapkan kebajikan serta sebagai simpanan -di akhirat- di sisi Allah. Maka dari itu gunakanlah kebun itu ya Rasulullah, sebagaimana yang Allah memberitahukan kepada Tuan. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: "Aduh, yang sedemikian itu adalah merupakan harta yang banyak keuntungannya -berlipat ganda pahalanya bagi yang bersedekah-, yang sedemikian itu adalah merupakan harta yang banyak keuntungannya." Saya telah mendengar apa yang engkau ucapkan dan sesungguhnya saya berpendapat supaya kebun itu engkau berikan kepada kaum keluargamu -sebagai sedekah-." Abu Thalhah berkata: "Saya akan melaksanakan itu, ya Rasulullah." Selanjutnya Abu Thalhah membagi-bagikan kebun Bairuha' itu kepada keluarga serta anak-anak pamannya." (Muttafaq 'alaih) Perihal lafaz-lafaznya sudah dijelaskan di muka dalam bab "infak dari apa-apa yang dicintai" -harap diperiksa dalam hadits no.298.



321. Dari Abdullah bin Amr bin al-'Ash radhiallahu 'anhuma, katanya: "Ada seorang lelaki menghadap Nabi s.a.w. lalu berkata: "Saya berbai'at kepada Tuan untuk ikut berhijrah serta berjihad yang saya tujukan untuk mencari pahala dari Allah Ta'ala." Beliau bertanya: "Apakah salah seorang dari kedua orangtuamu itu masih ada yang hidup?" Orang itu menjawab: "Ya, bahkan keduanya masih hidup." Beliau bersabda: "Apakah maksudmu hendak mencari pahala dari Allah Ta'ala?" Ia menjawab: "Ya." Beliau bersabda: "Kalau begitu kembali sajalah ke tempat kedua orangtuamu, lalu berbuat baiklah dalam mengawani keduanya itu." (Muttafaq 'alaih) Ini adalah lafaznya Imam Muslim. Dalam riwayat Imam-imam Bukhari dan Muslim lainnya disebutkan pula demikian: "Ada seorang lelaki datang kepada Nabi s.a.w. lalu memohon izin kepada beliau untuk ikut berjihad, lalu beliau bersabda: "Adakah kedua orangtuamu masih hidup?" Ia menjawab: "Ya." Lalu beliau s.a.w. bersabda: "Kalau begitu, berjihadlah untuk kedua orangtuamu itu -dengan berbuat baik dan memuliakan keduanya itu."



322. Dari Abdullah bin Amr bin al-'Ash r.a. pula dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Bukanlah orang yang menghubungi -mempererat kekeluargaan- itu dengan orang yang mencukupi -yakni yang sama-sama menghubunginya-, tetapi orang yang menghubungi itu ialah orang yang apabila keluarganya itu memutuskan ikatan kekeluargaannya, lalu ia suka menghubunginya -menyambungnya kembali." (Riwayat Bukhari)



323. Dari Aisyah radhiallahu 'anha dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Rahim -kekeluargaan- itu tergantung pada 'Arasy sambil berkata: "Barangsiapa yang menghubungi aku -mempererat kekeluargaan-, maka Allah menghubunginya dan barangsiapa memutuskan aku, maka Allah memutuskannya." (Muttafaq 'alaih)



324. Dari Ummul mu'minin yaitu Maimunah binti al-Harits radhiallahu 'anha, bahwasanya dia memerdekakan seorang hamba sahayanya -perempuan- dan tidak meminta izin lebih dulu kepada Nabi s.a.w. Ketika datang hari gilirannya yang waktu itu beliau berputar untuknya, maka Maimunah berkata: "Adakah Tuan mengetahui, ya Rasulullah, bahwa saya telah memerdekakan hamba sahayaku?" Beliau s.a.w. bersabda: "Adakah itu sudah engkau kerjakan?" Ia menjawab: "Ya, sudah." Beliau bersabda: "Alangkah baiknya kalau hamba sahaya itu engkau berikan saja kepada pamanmu dari jurusan ibu, karena yang sedemikian itu adalah lebih besar pahalanya untukmu." (Muttafaq 'alaih)



325. Dari Asma' binti Abu Bakar as-Shiddiq radhiallahu 'anhuma, katanya: "Ibuku datang ke tempatku sedang dia adalah seorang musyrik di zaman Rasulullah s.a.w. -Yaitu disaat berlangsungnya perjanjian Hudaibiyah antara Nabi s.a.w. dan kaum musyrikin. Kemudian saya meminta fatwa kepada Rasulullah s.a.w., saya berkata: "Ibuku datang padaku dan ia ingin meminta sesuatu, apakah boleh saya hubungi ibuku itu, padahal ia musyrik?" Beliau s.a.w. bersabda: "Ya, hubungilah ibumu." (Muttafaq 'alaih) Ucapan Asma': Raghibah artinya ialah ingin sekali meminta sesuatu yang ada padaku. Ada yang mengatakan bahwa yang datang itu benar-benar ibunya sendiri dari nasabnya, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa itu adalah ibunya dari satu susuan yakni yang pernah menyusuinya waktu kecil. Yang shahih ialah pendapat yang pertama yakni ibunya sendiri.



326. Dari Zainab as-Tsaqafiyah yaitu istri Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu wa'anha, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Bersedekahlah engkau semua, hai kaum wanita dari perhiasan-perhiasanmu." Zainab berkata: "Saya lalu kembali ke tempat Abdullah bin Mas'ud, lalu saya berkata: "Sesungguhnya engkau ini seorang lelaki yang ringan tangannya -maksudnya dalam keadaan kurang harta-, dan sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah memerintahkan kita untuk memberikan sedekah. Maka datanglah engkau kepada beliau dan tanyakanlah, jikalau sekiranya yang sedemikian itu mencukupi daripadaku, maka akan saya berikan saja padamu -maksudnya ialah jikalau hartaku sendiri ini boleh diberikan kepada sesama keluarga, tentu lebih baik untuk kepentingan keluarga saja-. Tetapi jikalau tidak mencukupi yang sedemikian itu -yakni tidak boleh kepada keluarga sendiri-, maka akan saya berikan kepada orang lain." Abdullah -suaminya- berkata: "Bahkan engkau saja yang datang pada beliau." Kemudian saya -Zainab- berangkat, tiba-tiba ada seorang wanita dari kaum Anshar yang sudah ada di pintu Rasulullah s.a.w., sedang keperluanku sama benar dengan keperluannya. Rasulullah s.a.w. itu besar sekali kewibawaan yang ada padanya. Kemudian Bilal keluar menemui kita, lalu kita berkata: "Datanglah kepada Rasulullah s.a.w., kemudian beritahukanlah bahwasanya ada dua orang wanita sedang menanti di pintu untuk bertanya kepada Tuan: "Apakah sedekah itu mencukupi, jikalau diberikan saja kepada suami-suaminya serta anak-anak yatim yang ada dalam tanggungannya? Tetapi janganlah diberitahukan siapa kita yang datang ini!" Bilal lalu masuk kepada Rasulullah s.a.w., kemudian menanyakan soal di atas itu. Rasulullah s.a.w. bertanya: "Siapakah kedua orang itu?" Bilal menjawab: "Seorang wanita dari kaum Anshar dan yang seorang Zainab." Rasulullah s.a.w. bertanya: "Zainab yang mana? -sebab nama Zainab banyak-." Bilal menjawab: "Zainab istri Abdullah." Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: "Kedua wanita itu mendapatkan dua pahala -jikalau diberikan kepada keluarganya sendiri-, yaitu pahala karena kekeluargaan dan pahala sedekahnya." (Muttafaq 'alaih)



327. Dari Abu Sufyan yaitu Shakhr bin Harb r.a. dalam Hadisnya yang panjang perihal kisahnya Hercules, bahwasanya Hercules berkata kepada Abu Sufyan: "Dia menyuruh apakah kepadamu semua?" -yang dimaksudkan ialah Nabi s.a.w-. Abu Sufyan menjawab: Saya lalu berkata: "Nabi itu mengucapkan demikian: "Sembahlah Allah yang Maha Esa dan jangan menyekutukan sesuatu denganNya. Juga tinggalkanlah apa-apa yang diucapkan oleh nenek moyangmu -tentang i'tikad yang salah-salah-. Dia menyuruh pula kepada kita supaya kita melakukan shalat, berkata benar, menahan diri dari menjalankan keharaman serta mempererat kekeluargaan." (Muttafaq 'alaih)



328. Dari Abu Zar r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Engkau semua akan membebaskan suatu tanah yang di situ digunakan sebutan qirath -untuk mata uangnya." Dalam sebuah riwayat lagi disebutkan: "Engkau semua akan membebaskan Mesir, yaitu tanah yang di situ digunakanlah nama qirath, maka berwasiatlah kepada penduduk di situ dengan baik-baik, sebab sesungguhnya mereka itu mempunyai hak kehormatan serta kekeluargaan." Dalam riwayat lain disebutkan: "Jikalau engkau telah membebaskannya, maka berbuat baiklah kepada penduduknya, sebab sesungguhnya mereka itu mempunyai hak kehormatan dan kekeluargaan," atau dalam riwayat lain disebutkan: "Mereka mempunyai hak kehormatan dan periparan -dari kata ipar." (Riwayat Muslim) Para ulama berkata: "Rahim yang dimiliki oleh penduduk Mesir ialah karena Hajar, ibunya Nabi Ismail adalah dari bangsa mereka sedang hubungan ipar ialah karena Mariah istri Rasulullah, yakni ibunya Ibrahim bin Muhammad, juga berasal dari bangsa Mesir itu.



329. Dari Abu Hurairah r.a. katanya: "Ketika ayat ini turun yaitu yang artinya: Dan berilah peringatan kepada kaum keluargamu yang dekat-dekat -as-Syu'ara' 214, lalu Rasulullah s.a.w. mengundang kaum Quraisy, kemudian merekapun berkumpullah, undangan itu ada yang secara umum dan ada lagi yang khusus, lalu beliau bersabda: "Hai Bani Ka'ab bin Luay, selamatkanlah dirimu semua dari neraka. Hai Bani Murrah bin Ka'ab, selamatkanlah dirimu semua dari neraka. Hai Bani Abdu Syams, selamatkanlah dirimu semua dari neraka. Hai Bani Abdu Manaf, selamatkanlah dirimu semua dari neraka. Hai Bani Hasyim, selamatkanlah dirimu semua dari neraka. Hai Bani Abdul Muththalib, selamatkanlah dirimu semua dari neraka. Hai Fathimah -puteri Rasulullah s.a.w.-, selamatkanlah dirimu dari neraka, karena sesungguhnya saya tidak dapat memiliki sesuatu untukmu semua dari Allah -maksudnya saya tidak dapat menolak siksa yang akan diberikan oleh Allah padamu-, jikalau engkau tidak berusaha menyelamatkan diri sendiri dari neraka. Hanya saja engkau semua itu mempunyai hubungan kekeluargaan belaka -tetapi ini jangan diandal-andalkan untuk dapat selamat di akhirat-. Saya akan membasahinya dengan airnya." (Riwayat Muslim) Sabdanya Rasulullah: Bibalaliha, itu dengan fathahnya ba' kedua dan boleh pula dengan dikasrahkan. Albalal artinya air. Makna Hadis: Saya akan membasahinya dengan airnya ialah saya akan menghubungi kekeluargaan itu. Beliau s.a.w. menyerupakan terputusnya kekeluargaan itu sebagai sesuatu yang panas yang dapat dipadamkan dengan air dan yang panas ini dapat didinginkan dengan mempereratkan kekeluargaan itu.



330. Dari Abu Abdillah, yaitu 'Amr bin al-'Ash radhiallahu 'anhuma, katanya: "Saya mendengar Nabi s.a.w. bersabda secara terang-terangan tidak dirahasiakan lagi, yaitu: "Sesungguhnya keluarga Abu Fulan itu bukanlah kekasihku. Sesungguhnya kekasihku ialah Allah dan kaum mu'minin yang shalih. Tetapi mereka itu ada hubungan kekeluargaan denganku yang saya akan membasahi dengan airnya -yakni saya pereratkan ikatan kekeluargaan dengan mereka-." Muttafaq 'alaih, sedang lafaznya adalah dari Imam Bukhari.



331. Dari Abu Ayyub, yaitu Khalid bin Zaid al-Anshari r.a. bahwa ada seorang lelaki berkata: "Ya Rasulullah, beritahukanlah kepada saya suatu amalan yang dapat memasukkan saya ke dalam syurga." Kemudian Nabi s.a.w. bersabda: "Engkau supaya menyembah kepada Allah dan janganlah engkau menyekutukan sesuatu denganNya, juga supaya engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mempererat ikatan kekeluargaan." (Muttafaq 'alaih)



332. Dari Salman bin 'Amir r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Jikalau seorang dari engkau semua itu berbuka, maka berbukalah atas kurma, sebab sesungguhnya kurma itu ada berkahnya, tetapi jikalau tidak menemukan kurma, maka hendaklah berbuka atas air, sebab sesungguhnya air itu suci." Selanjutnya beliau s.a.w. bersabda: "Bersedekah kepada orang miskin adalah memperoleh satu pahala sedekah saja, tetapi kepada -orang miskin- yang masih ada hubungan kekeluargaan, maka memperoleh dua kali, yaitu pahala sedekah dan pahala mempereratkan kekeluargaan." Hadits hasan yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan.



333. Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma, katanya: "Di bawah saya ada seorang wanita -maksudnya-: Saya mempunyai seorang istri- dan saya mencintainya, sedangkan Umar -ayahnya membencinya-, lalu Umar berkata kepadaku: "Ceraikanlah istrimu itu!" sedang saya enggan melakukannya. Umar lalu mendatangi Nabi s.a.w. kemudian menyebutkan keadaan yang sedemikian itu, maka Nabi s.a.w. bersabda: "Ceraikanlah wanita itu." Diriwayatkan oleh imam-imam Abu Dawud dan Tirmidzi dan Imam Tirmidzi mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan shahih.



334. Dari Abuddarda' r.a. bahwasanya ada seorang lelaki datang kepadanya: "Sesungguhnya saya mempunyai seorang istri dan sesungguhnya ibuku menyuruh kepadaku supaya aku menceraikannya." Kemudian Abuddarda' berkata: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Orangtua adalah pintu yang paling tengah diantara pintu-pintu syurga." Maka jikalau engkau suka, buanglah pintu itu -tidak perlu mengikuti perintahnya atau tidak berbakti padanya-, tetapi ini adalah dosa besar, atau jagalah pintu tadi -dengan mengikuti perintah dan berbakti dan ini besar pahalanya-." Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits shahih.



335. Dari Albara' bin 'Azib radhiallahu 'anhuma dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Bibi adalah sebagai gantinya ibu." Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits shahih. Dalam bab ini terdapatlah beberapa hadits yang masyhur-masyhur dalam kitab hadits yang shahih. Di antaranya adalah hadits orang-orang yang tertahan dalam gua -lihat hadits no.12- dan hadits Juraij -lihat hadits no.260. Keduanya sudah disebutkan lebih dulu. Masih banyak lagi Hadits-hadits yang masyhur dalam kitab shahih, tetapi saya hilangkan untuk meringkaskannya. Di antara Hadits-hadits itu yang terpenting ialah Hadisnya 'Amr bin 'Abasah r.a., sebuah hadits panjang yang mengandung beberapa uraian yang banyak sekali dari hal kaidah-kaidah Islam dan adab-adabnya. Hadits itu akan saya uraikan dengan selengkapnya Insya Allah dalam bab Raja' (Mengharapkan). Di dalam Hadis itu disebutkan diantaranya: "Saya -yakni 'Amr bin 'Abasah- masuk kepada Nabi s.a.w. di Makkah -yakni pada waktu permulaan nubuwat atau diangkatnya sebagai Nabi-, lalu saya berkata padanya: "Siapakah Tuan itu?" Beliau menjawab: "Nabi." Saya bertanya: "Apakah Nabi itu?" Beliau menjawab: "Saya diutus oleh Allah." Saya bertanya lagi: "Dengan apakah Tuan diutus oleh Allah?" Beliau menjawab: "Allah mengutus saya dengan perintah mempereratkan ikatan kekeluargaan, mematahkan semua berhala dan supaya Allah itu di Maha Esakan, yaitu tidak ada sesuatu apapun yang dipersekutukan denganNya," dan ia menyebutkan kelengkapan hadits itu selanjutnya. Wallahu Ta'ala a'lam. Wa bihil'aunu walquwwah (Dengan Allah kita dapat memperoleh pertolongan dan kekuatan).

Sumber:

*

Terjemah Riyadhush Shalihin - Jilid 1 - Pustaka Amani, Jakarta

Bab 39. Hak Tetangga Dan Berwasiat Dengannya

Allah Ta'ala berfirman: "Dan sembahlah Allah serta jangan menyekutukan sesuatu denganNya. Juga berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman seperjalanan -teman sepekerjaan, sesekolahan dan lain-lain-, orang yang dalam perjalanan -yang kehabisan bekal- dan hamba sahaya yang menjadi milik tangan kananmu." (an-Nisa': 36)



304. Dari Ibnu Umar dan Aisyah radhiallahu 'anhuma, keduanya berkata: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidak henti-hentinya Jibril memberikan wasiat kepadaku supaya berbuat baik kepada tetangga, sehingga saya menyangka seolah-olah Jibril akan memasukkan tetangga sebagai ahli waris -yakni dapat menjadi ahli waris dan tetangganya." (Muttafaq 'alaih)



305. Dari Abu Zar r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Hai Abu Zar, jikalau engkau memasak kuah, maka perbanyaklah airnya dan saling berjanjilah dengan tetangga-tetanggamu -untuk saling memberi-." (Riwayat Muslim)



Dalam riwayat Imam Muslim lainnya, juga dari Abu Zar, katanya: "Kekasihku s.a.w. berwasiat padaku demikian: "Jikalau engkau memasak kuah, maka perbanyakkanlah airnya, kemudian lihatlah keluarga dari tetangga-tetanggamu, lalu berilah mereka itu dengan baik-baik."



306. Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda: "Demi Allah, tidaklah beriman; demi Allah, tidaklah beriman; demi Allah, tidaklah beriman!" Beliau s.a.w. ditanya: "Siapakah, ya Rasulullah." Beliau s.a.w. menjawab: "Yaitu orang yang tetangganya tidak aman akan kejahatannya." (Muttafaq 'alaih) Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan: Nabi s.a.w. bersabda: "Tidak akan masuk syurga orang yang tetangganya itu tidak aman akan kejahatannya." Bawaiq, artinya berbagai macam tipu daya serta kejahatan, baik yang dilakukan dengan tangan, lisan dan lain-lain.



307. Dari Abu Hurairah r.a. pula, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Hai wanita-wanita muslimat, janganlah seorang tetangga itu menghinakan kepada tetangganya yang lain, sekalipun yang dihadiahkan itu berupa kaki kambing." [32] (Muttafaq 'alaih)



308. Dari Abu Hurairah r.a. pula bahwasannya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Janganlah seorang tetangga itu melarang tetangganya yang lain untuk menancapkan kayu di dindingnya -untuk pengokoh atap dan lain-lain-." Abu Hurairah r.a. lalu berkata: "Mengapa engkau semua saya lihat tampaknya menentang dari sunnah -peraturan Nabi s.a.w.- ini? Demi Allah, sesungguhnya akan saya lemparkan sunnah itu antara bahu-bahumu -maksudnya: Saya paksakan untuk diterimanya, sekalipun tampaknya berat dilakukan-." (Muttafaq 'alaih) Diriwayatkan dengan kata: Khusyubahu dan idhafah dan jama', tetapi diriwayatkan pula dengan kata: Khasyabatan dengan tanwin atas ifrad (yakni dalam bentuk mufrad).



309. Dari Abu Hurairah r.a. pula bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya -baik dengan kata-kata atau perbuatan. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah memuliakan tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau -kalau tidak dapat berkata baik- maka hendaklah berdiam saja -yakni jangan malahan berkata yang tidak baik." (Muttafaq 'alaih) Dari Abu Syuraih al-Khuza'i r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berbuat baik kepada tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah memuliakan tamunya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau hendaklah berdiam saja." Diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan lafaz seperti di atas ini dan Imam Bukhari meriwayatkan sebagiannya.



Keterangan:

Hadis di atas, juga yang ada di bawahnya itu, mengandung pengertian bahwa jika kita ingin dianggap sebagai seorang mu'min yang benar-benar sempurna keimanannya, maka tiga hal ini wajib kita laksanakan dengan baik.

1.

Jangan menyakiti tetangga, tetapi hendaknya berbuat baik kepadanya, termasuk didalamnya tetangga yang dekat atau yang jauh, ada hubungan kekeluargaan atau tidak, juga tanpa pandang apakah ia seorang Muslim atau kafir. Ringkasnya semua diperlakukan sama dalam soal ketetanggaan.
2.

Memuliakan tamu, baik yang kaya ataupun yang miskin, yang sudah kenal atau belum, kenalnya sudah lama atau baru saja bertemu dan berkenalan, seagama ataupun tidak dan lain-lain, bahkan musuhpun kalau datang ke tempat kita, wajib pula kita muliakan sebagai tamu. Cara memuliakannya ialah dengan jalan menampakkan wajah yang manis, berseri-seri dimukanya, berbicara dengan sopan, menyatakan gembira atas kedatangannya dan segera memberikan jamuan sepatutnya bilamana ada, tanpa memaksa-maksakan diri atau mengada-adakan, sehingga berhutang dan lain-lain.
3.

Kalau dapat mengeluarkan kata-kata yang baik, itulah yang sebagus-bagusnya untuk dijadikan bahan percakapan. Tetapi jika tidak dapat berbuat sedemikian, lebih baik berdiam diri saja.

Dalam mengulas sabda Rasulullah s.a.w. yang terakhir ini. Imam as-Syafi'i r.a. berkata: "Jadi hendaknya difikirkan sebelumnya perihal apa yang hendak dikatakan itu. Manakala memang baik untuk dikatakan, maka yang terbagus sekali ialah berkata-kata yang baik tersebut. Maksudnya kata-kata yang baik ialah yang tidak akan menyebabkan timbulnya kerusakan atau permusuhan, serta tidak pula akan menjurus ke arah pembicaraan yang diharamkan oleh syariat ataupun dimakruhkan. Inilah yang dianggap sebagai kata-kata yang memang betul-betul baik. Tetapi sekiranya akan membuat keonaran, permusuhan dan kekacauan atau akan menjurus kepada pembicaraan yang keruh, apalagi yang haram, maka di situlah tempatnya kita tidak boleh berbicara dan lebih baik berdiam diri saja."



310. Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: "Saya berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya saya itu mempunyai dua orang tetangga, maka kepada yang manakah diantara keduanya itu yang saya beri hadiah? "Rasulullah s.a.w. menjawab: "Kepada yang terdekat pintunya denganmu." (Riwayat Bukhari)



311. Dari Abdullah bin Amr radhiallahu 'anhuma, katanya: ''Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sebaik-baiknya kawan di sisi Allah Ta'ala ialah yang terbaik hubungannya dengan kawannya dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah Ta'ala ialah yang terbaik pergaulannya dengan tetangganya." Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan.

Catatan Kaki:



[32] Harap diperiksa kererangan hadits di atas dalam hadits no.124. Di situ diuraikan secara panjang lebar perihal adanya dua pendapat dalam menafsirkannya. Namun demikian tidak ada pertentangan antara yang satu dengan yang lain. Jadi sama-sama boleh diterapkan dan dipakai.



Sumber:


*

Terjemah Riyadhush Shalihin - Jilid 1 - Pustaka Amani, Jakarta
*

Terjemah Riyadhush Shalihin - Jilid 2 - Pustaka Amani, Jakarta

Bab 38. Kewajiban Memerintah Keluarga Dan Anak-anak Yang Sudah Tamyiz, juga Semua Orang Yang Dalam Lingkungan Penjagaannya, Supaya Taat Kepada Allah T

Allah Ta'ala berfirman: "Dan perintahlah keluargamu dengan shalat dan bersabarlah atasnya." (Thaha: 132)



Allah Ta'ala berfirman pula: "Hai sekalian orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa neraka yang bahan bakarnya adalah para manusia dan batu." (at-Tahrim: 6)



299. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Al-Hasan bin Ali radhiallahu 'anhuma mengambil sebiji buah kurma dari kurma hasil sedekah lalu dimasukkannya dalam mulutnya. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: "Kakh, kakh -jijik, jijik-, lemparkan itu, adakah engkau tidak tahu bahwasanya kita -golongan Bani Hasyim dan Bani Muththalib- itu tidak halal makan dari sedekah." (Muttafaq 'alaih) Dalam riwayat lain disebutkan "Bahwa bagi kita -golongan Bani Hasyim dan Bani Mutthalib- tidak halal makan sesuatu yang dari hasil sedekah." Sabda Nabi s.a.w.: "Kakh, kakh", dikatakan dengan sukunnya kha' dan ada yang mengatakan pula dengan kasrahnya kha' serta ditanwinkan lalu menjadi kakhin. Ini adalah kata melarang kepada anak-anak dari apa-apa yang dianggap jijik atau kotor. Al- Hasan di kala itu masih kecil sebagai anak-anak.



300. Dari Abu Hafsh yaitu Umar r.a. bin Abu Salamah, yakni Abdullah bin Abdul-asad. Ia adalah anak tiri Rasulullah s.a.w.[31] katanya: "Saya pernah berada di pangkuan Rasulullah s.a.w. dan tanganku -ketika makan- berputar di seluruh penjuru piring, lalu Rasulullah s.a.w. bersabda padaku: "Hai anak, bacalah Bismillahi Ta'ala -sebelum makan- dan makanlah dengan tangan kananmu, juga makanlah dari makanan yang ada di dekatmu saja." Maka senantiasa sedemikian itulah cara makanku sesudah itu." (Muttafaq 'alaih)



301. Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma, katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Semua orang dari engkau sekalian itu adalah penggembala dan semuanya akan ditanya tentang penggembalaannya. Seorang imam -pemimpin- adalah penggembala dan akan ditanya tentang penggembalaannya. Seorang lelaki adalah penggembala dalam keluarganya dan akan ditanya tentang penggembalaannya, seorang istri adalah penggembala di rumah suaminya dan akan ditanya tentang penggembalaannya. Seorang pelayan juga penggembala dalam harta tuannya dan akan ditanya tentang penggembalaannya. Maka semua orang dari engkau sekalian itu adalah penggembala dan akan ditanya tentang penggembalaannya." (Muttafaq 'alaih) Hadits ini dengan jelas menyebutkan bahwa sekalipun sesuatu itu dipandang umum sangat remeh dan tidak perlu diperhatikan, seperti adab kesopanan di waktu makan dan minum, duduk, bermain-main dan lain-lain sebagainya, tetapi Agama Islam tetap menyerukan kepada orang tua atau wali anak-anak, agar hal-hal itu diajarkan serta menegur mereka jika mereka berbuat yang tidak pantas. Mengajarkan ini wajib dilaksanakan sejak kecil, agar terbiasa nantinya apabila telah dewasa dan orang lain akan menamakan "Anak yang mengerti tata krama".



302. Dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari neneknya r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Perintahlah anak-anakmu untuk menjalankan shalat di waktu mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka, jikalau melalaikan shalat di waktu mereka berumur sepuluh tahun. Juga pisahkanlah antara mereka itu dalam masing-masing tempat tidurnya." Hadits hasan yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dengan isnad yang hasan.



303. Dari Abu Tsurayyah yaitu Sabrah bin Ma'bad al-Juhani r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Pelajarilah anak-anak itu akan shalat ketika berusia tujuh tahun dan pukullah ia jikalau melalaikan shalat ketika berumur sepuluh tahun." Hadis hasan yang diriwayatkan oleh Imam-Imam Abu Dawud dan Tirmidzi mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan. Adapun lafaznya Abu Dawud yaitu: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Perintahlah anak-anak itu untuk shalat ketika ia telah mencapai umur tujuh tahun."

Catatan Kaki:



[31] Jadi Umar bin Abu Salamah itu anak tiri Rasulullah s.a.w., puteranya istri beliau s.a.w. yang bernama Ummu Salamah.



Sumber:


*

Terjemah Riyadhush Shalihin - Jilid 1 - Pustaka Amani, Jakarta
*

Terjemah Riyadhush Shalihin - Jilid 2 - Pustaka Amani, Jakarta

Bab 37. Memberikan Nafkah Dari Sesuatu Yang Disukai Dan Dari Sesuatu Yang Baik

Allah Ta'ala berfirman: "Tidaklah sekali-kali engkau semua akan dapat memperoleh kebajikan, sehingga engkau semua suka membelanjakan -menafkahkan- dari sesuatu yang engkau cintai." (Ali-Imran: 92)



Allah Ta'ala berfirman pula: "Hai sekalian orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian yang baik-baik dari apa-apa yang engkau semua usahakan dan dari apa-apa yang Kami keluarkan dari bumi dan janganlah engkau semua sengaja memilihkan yang buruk-buruk diantara yang engkau semua nafkahkan itu." (al- Baqarah: 267)



298. Dari Anas r.a., katanya: "Abu Thalhah adalah seorang dari golongan kaum Anshar di Madinah yang terbanyak hartanya, terdiri dari kebun kurma. Di antara harta-hartanya itu yang paling dicintai olehnya ialah kebun kurma Bairuha'. Kebun ini letaknya menghadap masjid -Nabawi di Madinah-. Rasulullah s.a.w. suka memasukinya dan minum dari airnya yang nyaman." Anas berkata: "Ketika ayat ini turun, yakni yang artinya: "Engkau semua tidak akan memperoleh kebajikan sehingga engkau semua suka menafkahkan dari sesuatu yang engkau semua cintai," maka Abu Thalhah berdiri menuju ke tempat Rasulullah s.a.w., lalu berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman: -yang artinya sebagaimana di atas-. Padahal hartaku yang paling saya cintai ialah kebun kurma Bairuha', maka sesungguhnya kebun itu saya sedekahkan untuk kepentingan agama Allah Ta'ala. Saya mengharapkan kebajikannya serta sebagai simpanan -di akhirat di sisi Allah-. Maka dari itu gunakanlah kebun itu ya Rasulullah, sebagaimana yang Allah memberitahukan kepada Tuan. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: "Aduh, yang sedemikian itu adalah merupakan harta yang banyak keuntungannya -berlipat ganda pahalanya bagi yang bersedekah-, yang sedemikian adalah merupakan harta yang banyak keuntungannya. Saya telah mendengar apa yang engkau ucapkan dan sesungguhnya saya berpendapat supaya kebun itu engkau berikan kepada kaum keluargamu -sebagai sedekah-." Abu Thalhah berkata: "Saya akan melaksanakan itu, ya Rasulullah." Selanjutnya Abu Thalhah membagi-bagikan kebun Bairuha' itu kepada keluarga serta anak-anak pamannya." (Muttafaq 'alaih) Sabda Nabi s.a.w.: Malun raabihun, diriwayatkan dalam kitab shahih Raabihun dan ada pula yang mengatakan Raayihun, jadi ada yang dengan ba' muwahhadah dan ada yang dengan ya' mutsannat, maksudnya menguntungkan yakni keuntungannya itu kembali padamu sendiri. "Bairuha"' adalah suatu kebun kurma, diriwayatkan dengan kasrahnya ba' atau dengan fathahnya jadi Biruha' atau Bairuha'.

Sumber:

*

Terjemah Riyadhush Shalihin - Jilid 1 - Pustaka Amani, Jakarta
*

Terjemah Riyadhush Shalihin - Jilid 2 - Pustaka Amani, Jakarta

Bab 36. Memberikan Nafkah Kepada Para Keluarga

Allah Ta'ala berfirman: "Dan menjadi kewajiban ayah untuk mencukupkan keperluan rezeki -makan dan minum- serta pakaian dangan secara baik -sepantasnya- kepada ibu yang menyusukan anaknya -baik masih jadi istrinya maupun sudah diceraikannya-." (al-Baqarah: 233)



Allah Ta'ala berfirman lagi: "Hendaklah orang yang mampu itu memberikan nafkahnya sesuai dengan kemampuannya dan barangsiapa yang terbatas rezekinya, maka hendaklah memberikan nafkahnya sesuai dengan pemberian Allah kepadanya. Allah tidak memaksakan kepada seseorang melainkan sesuai dengan karunia yang diberikan olehNya kepada orang itu." (at-Thalaq: 7)



Juga Allah Ta'ala berfirman: "Dan segala sesuatu apapun yang engkau semua nafkahkan, maka Allah tentu menggantinya." (Saba': 39)



290. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sebuah dinar yang engkau belanjakan untuk perjuangan fisabilillah, sebuah dinar yang engkau belanjakan untuk seorang hamba sahaya -lalu dapat segera merdeka-, sebuah dinar yang engkau sedekahkan kepada seorang miskin dan sebuah dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, maka yang terbesar pahalanya ialah yang engkau nafkahkan kepada keluargamu itu." (Riwayat Muslim)



291. Dari Abu Abdillah (ada yang mengatakan namanya itu ialah Abu Abdirrahman) yaitu Tsauban bin Bujdud, yakni hamba sahaya Rasulullah s.a.w., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Seutama-utama dinar yang dinafkahkan oleh seorang lelaki ialah dinar yang dinafkahkan kepada keluarganya, dan juga dinar yang dinafkahkan kepada kendaraannya untuk berjuang fisabilillah dan pula yang dinafkahkan kepada sahabat-sahabatnya untuk berjuang fisabilillah juga." (Riwayat Muslim)



292. Dari Ummu Salamah radhiallahu 'anha, katanya: "Saya bertanya: "Ya Rasulullah, adakah saya dapat memperoleh pahala jikalau saya menafkahi anak-anak Abu Salamah dan saya tidak membiarkan mereka berpisah begini begitu -yakni bercerai berai ke sana ke mari untuk mencari nafkahnya sendiri-sendiri-, sebab sesungguhnya mereka itu anak-anak saya juga -karena Abu Salamah adalah suaminya Ummu Salamah-." Beliau s.a.w. menjawab: "Ya, engkau memperoleh pahala dari apa yang engkau nafkahkan kepada anak-anak itu." (Muttafaq 'alaih)



293. Dari Sa'ad bin Abu Waqqash r.a. dalam Hadisnya yang panjang yang sudah kami uraikan sebelum ini dalam permulaan kitab, yaitu dalam bab niat, bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda kepadanya -Sa'ad- yaitu: "Sesungguhnya engkau tiada menafkahkan sesuatu nafkahpun yang dengannya itu engkau mencari keridhaan Allah, melainkan engkau pasti diberi pahala karena pemberian nafkahmu tadi, sampaipun sesuatu yang engkau jadikan untuk makanan mulut istrimu." (Muttafaq 'alaih)



294. Dari Mas'ud al-Badri r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Jikalau seorang lelaki memberikan nafkah kepada keluarganya dengan niat mengharapkan keridhaan Allah, maka apa yang dinafkahkan itu adalah sebagai sedekah baginya -yakni mendapatkan pahala seperti orang yang bersedekah-." (Muttafaq 'alaih)



295. Dari Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Cukuplah seseorang menanggung dosa, jikalau ia menyia-nyiakan orang yang wajib ditanggung makannya." Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan lain-lain. Dan juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya dengan pengertian sebagaimana di atas itu, yaitu sabda Rasulullah s.a.w.: "Cukuplah seseorang itu menanggung dosa, jikalau ia menahan -tidak memberikan makan- kepada orang yang menjadi miliknya -tanggungannya-."



296. Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda: "Tiada suatu haripun yang semua hamba Allah berpagi-pagi pada hari itu, melainkan ada dua malaikat yang turun -kebumi-, yang satu berkata: "Ya Allah, berikanlah kepada orang yang memberikan nafkah akan gantinya," sedang yang lainnya berkata: "Ya Allah, berikanlah kepada orang yang menahan hartanya dan enggan menafkahkan menjadi habis sama sekali." (Muttafaq 'alaih)



297. Dari Abu Hurairah r.a. pula bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda: "Tangan diatas itu lebih baik dari tangan dibawah -yakni yang memberi lebih baik daripada yang diberi-. Dan mulailah dahulu dengan orang yang menjadi keluargamu. Sebaik-baik sedekah ialah yang diberikan di luar keperluan -yakni bahwa dirinya sendiri sudah cukup untuk kepentingannya dan kepentingan keluarganya-. Barangsiapa yang menahan diri -tidak sampai meminta sekalipun miskin-, maka Allah akan mencukupkan kebutuhannya dan barangsiapa yang merasa kaya -merasa cukup dengan apa yang ada disisinya-, maka Allah akan membuatnya kaya -cukup dari segala keperluannya-." (Riwayat Bukhari)

Sumber:

*

Terjemah Riyadhush Shalihin - Jilid 1 - Pustaka Amani, Jakarta
*

Terjemah Riyadhush Shalihin - Jilid 2 - Pustaka Amani, Jakarta

Bab 35. Hak Suami Atas Istri (Yang Wajib Dipenuhi Oleh Istri)

Allah Ta'ala berfirman: "Kaum lelaki itu adalah pemimpin-pemimpin atas kaum wanita -istri-istrinya, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka dari yang lainnya, juga karena kaum lelaki itu telah menafkahkan dari sebagian hartanya. Oleh sebab itu kaum wanita yang shalihah ialah yang taat serta menjaga dirinya di waktu ketiadaan suaminya, sebagaimana yang diperintah untuk menjaga dirinya itu oleh Allah." (an-Nisa':34)



Keterangan:

Menilik isi yang tersirat dalam ayat di atas, maka Allah Ta'ala sudah memberikan ketentuan yang tidak dapat diubah-ubah atau sudah merupakan sunnatullah, yaitu bahwa keharmonisan rumah tangga itu, manakala lelaki dapat menguasai seluruh hal ihwal rumah tangga, dapat mengatur dan mengawasi istri sebagai kawan hidupnya dan menguasai segala sesuatu yang masuk dalam urusan rumah tangganya itu sebagaimana pemerintah yang baik, pasti dapat menguasai dan mengatur sepenuhnya perihal keadaan rakyat. Manakala ini terbalik, misalnya istri yang menguasai suami, atau sama-sama berkuasanya, sehingga seolah-olah tidak ada pengikut dan yang diikuti, tidak ada pengatur dan yang diatur, sudah pasti keadaan rumah tangga itu menemui kericuhan dan tidak mungkin ada ketenangan dan ketenteraman di dalamnya. Ringkasnya para suamilah yang wajib menjadi Qawwaamuun, yakni penguasa, khususnya kepada istrinya. Ini dengan jelas diterangkan oleh Allah perihal sebab-sebabnya, yaitu kaum lelakilah yang dikaruniai Allah Ta'ala akal yang cukup sempurna, memiliki kepandaian dalam mengatur dan menguasai segala persoalan, juga kekuatannyapun dilebihkan oleh Allah bila dibandingkan dengan kaum wanita, baik dalam segi pekerjaan ataupun peribadahan dan ketaatan kepada Tuhan. Selain itu suami mempunyai pertanggunganjawab penuh untuk mencukupi nafkah seluruh isi rumah tangga itu. Oleh sebab itu istri itu baru dapat dianggap shalihah, apabila ia selalu taat pada Allah, melaksanakan hak-hak suami, memelihara diri di waktu suaminya tidak di rumah dan tidak seenaknya saja dalam hal memberikan harta yang menjadi milik suaminya itu. Dengan demikian istri itupun pasti akan dilindungi oleh Allah dalam segala hal dan keadaan, juga ditolong untuk dapat melaksanakan tanggung jawabnya yang dipikulkan kepadanya mengenai urusan rumah tangganya itu.



Adapun Hadits-haditsnya, maka diantaranya ialah Hadisnya 'Amr bin al-Ahwash di muka dalam bab sebelum ini -lihat hadits no.276.



282. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Jikalau seorang lelaki mengajak istrinya ketempat tidurnya, tetapi istri itu tidak mendatangi ajakannya tadi, lalu suami itu menjadi marah pada malam harinya itu, maka para malaikat melaknati -mengutuk- istri itu sampai waktu pagi." (Muttafaq 'alaih) Dalam riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim yang lain lagi, disebutkan demikian: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Apabila seorang istri meninggalkan tempat tidur suaminya pada malam harinya, maka ia dilaknat oleh para malaikat sampai waktu pagi." Dalam riwayat lain lagi disebutkan sabda Rasulullah s.a.w. demikian: "Demi Zat yang jiwaku ada di dalam genggaman kekuasaanNya, tiada seorang lelakipun yang mengajak istrinya untuk datang di tempat tidurnya, lalu istri itu menolak ajakannya, melainkan semua penghuni yang ada di langit -yakni para malaikat- sama murka pada wanita itu sehingga suaminya rela padanya -yakni mengampuni kesalahannya."



283. Dari Abu Hurairah r.a. pula bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tiada halal -yakni haram- bagi seorang istri untuk berpuasa -sunnat- sedangkan suaminya menyaksikan -yakni ada-, melainkan dengan izin suaminya itu dan tidak halal mengizinkan seorang lelaki lainpun untuk masuk rumahnya -baik lelaki lain tersebut termasuk mahramnya atau bukan-, kecuali dengan izin suaminya." (Muttafaq 'alaih) Dan yang di atas itu lafaznya Imam Bukhari.



284. Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma dari Nabi s.a.w. sabdanya: "Semua orang dari engkau sekalian itu adalah pengembala dan semuanya akan ditanya perihal pengembalaannya. Seorang amir -pemimpin- adalah pengembala, seorang lelaki juga pengembala pada keluarga rumahnya, perempuan pun pengembala pada rumah suaminya serta anaknya. Maka dari itu semua orang dari engkau sekalian itu adalah pengembala dan semua saja akan ditanya perihal pengembalaannya." (Muttafaq 'alaih)



285. Dari Abu Ali, yaitu Thalq bin Ali r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Jikalau seorang lelaki mengajak istrinya untuk keperluannya -masuk ke tempat tidur- maka wajiblah istri itu mendatangi -mengabulkan- kehendak suaminya itu, sekalipun di saat itu istri tadi sedang ada di dapur." Diriwayatkan oleh Imam-Imam Tirmidzi dan an-Nasa'i dan Tirmidzi berkata bahwa ini adalah hadits hasan.



286. Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w. sabdanya: "Andaikata saya boleh menyuruh seorang untuk bersujud kepada orang lain, sesungguhnya saya akan menyuruh istri supaya bersujud kepada suaminya." Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan shahih.



287. Dari Ummu Salamah radhiallahu 'anha, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Mana saja wanita yang meninggal dunia sedang suaminya rela padanya -tidak sedang mengkal -marah- padanya, maka wanita itu akan masuk syurga." Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan.



288. Dari Usamah bin Zaid radhiallahu 'anhuma dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Saya tidak meninggalkan sesuatu fitnah sepeninggalku nanti yang fitnah itu lebih besar bahayanya untuk dihadapi oleh kaum lelaki, yang lebih hebat dari fitnah yang ditimbulkan oleh karena persoalan orang-orang perempuan." (Muttafaq 'alaih)[30]



289. Dari Mu'az bin Jabal r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Tidaklah seorang istri itu menyakiti pada suaminya di dunia -baik hati atau badannya-, melainkan istrinya yang dari bidadari yang membelalak matanya itu berkata: "Janganlah engkau menyakiti ia, semoga engkau mendapat siksa Allah. Sesungguhnya ia di dunia itu adalah sebagai tamu bagimu, yang hampir sekali -tidak lama lagi- akan berpisah denganmu untuk menemui kita." Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan.

Catatan Kaki:



[30] Syaikhal Allamah 'Alaudin berkata: "Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dalam kitab shahihnya diringkaskan dari Muhammad bin Munkadir dari Jabir bin Abdullah radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tiga macam orang yang tidak diterima oleh Allah shalat mereka dan tidak ada kebaikan mereka yang naik -ke langit- yaitu hamba sahaya yang melarikan diri sehingga ia kembali kepada pemiliknya, lalu meletakkan tangannya di tangan pemiliknya tadi -yakni menyerah bulat-bulat, juga wanita yang suaminya murka padanya sehingga suaminya itu rela kembali dan orang mabuk sehingga sadar lagi." Selesai dari hamisy atau pinggirnya sebagian naskah kitab.



Sumber:

*

Terjemah Riyadhush Shalihin - Jilid 1 - Pustaka Amani, Jakarta
*

Terjemah Riyadhush Shalihin - Jilid 2 - Pustaka Amani, Jakarta